Aku sudah menikah dan tinggal bersama lelaki itu, 5 tahun 5 bulan. Eh, ralat, dikurangi 11 bulan saat dia dapat beasiswa dan kuliah S2 di Belanda. Jadi totalnya 4 tahun 4 bulan. Apakah sekarang dia bukan lagi menjadi sosok yang misterius?
Secara umum, sih, iya. Aku sudah cukup mengenalnya. Bahkan kami sudah mulai bicara tanpa bahasa. Apa maksudnya? Jika kita dekat dengan seseorang, biasanya, dengan bahasa tubuhnya saja kita bisa menangkap apa yang dia rasakan. Salah satunya kejadian saat kami naik gunung pertama setelah menikah. Saat itu, malam hari dan kami terpisah beberapa puluh meter.
Aku di depan bersama beberapa teman berjalan sambil ngobrol. Kebetulan ada tim lain yang berhenti lalu bergabung dengan kami.
"Numpang, ya, mbak, Soalnya senter kami mati," kata salah satu dari dua orang lelaki.
" oo silakan," kataku.
Karena nebeng, ya si cowok jalan di belakangku, terkadang pindah ke sebelah kalau jalannya lagi lapang. Lalu mengalirlah percakapan 'normal' tentang asal, pekerjaan dan serba sergi gunung, Cukup lama kami ngobrol walau sebetulnya tidak hanya berdua. Dalam 1 rombongan yang kami jalan bareng kira-kira ada 5 orang.
Beberapa kali aku menoleh ke belakang, ternyata suamiku sudah dekat. Tapi aku heran, kenapa, sih, dia seperti menjaga jarak. Padahal aku nunggu-nunggu dia untuk gabung dengan rombonganku. Awalnya kupikir, ah, mungkin dia juga lagi pingin bareng sama rombongannya, sekitar 5 orang yang laki-laki semua. Ya, aku pikir ada saatnya juga kami gak jalan bareng, biar bisa membaur juga dengan teman-teman.
Tapi lama-lama aku curiga. Ini pasti ada yang tidak beres. Kenapa lelaki itu seakan menghindar. Tiap aku berhenti buat nungguin dia eh dia ikut berhenti juga. Kalau aku jalan dia juga ikutan jalan dengan menjaga jarak. Aku samperin aja, deh. Biar enggak jadi bahan pikiran.
Lalu aku bilang ke mas-mas yang tadi minta ijin nebeng senter, "Mas, silakan bareng sama teman yang ini, ya, saya mau gabung sama tim belakang."
"Oke, makasih tebengannya, ya, Mbak."
"Sama-sama"
Lalu aku samperin rombongan di belakang.
"Mas, kenapa, sih, kok aku merasa beda."
"Gak pa-pa," jawabnya pendek
(Nah, ini mencurigakan. pasti ada apa-apa. Kok dia jawabnya pendek begitu...)
"Dari tadi aku nungguin Mas lho, emangnya Mas nggak tahu?"
"Tahu"
(tuh kan..dia jawabnya pendek lagi. Kalau kayak gini aku langsung teringat sosoknya sekian tahun lalu yang 'misterius' dan seperti menutup dirinya dari siapapun)
"Lha, terus kenapa Mas nggak nyamperin aku? Mas kalau ada masalah ngomong dong. Aku enggak suka dicuekin kayak gitu? Kalau aku ada salah, Mas sampein dong. Aku enggak bisa kalau diem-diem-an kayak gini."
(Udah mulai nggak stabil nih, emosiku. Antara kesal, sebel dan pingin nangis. Gimana, sih, rasanya dicuekin sama suami sendiri)
Awalnya dia nggak mau ngomong. Tapi setelah kukulik-kulik, kupancing-pancing akhirnya saudara-saudara dia mau cerita. Intinya dia tuh, sebel, kenapa dalam perbincanganku dengan si mas-mas yang tadi nebeng senter, aku sama sekali gak cerita kalau aku sudah menikah dan punya anak (rupanya tadi dia ndengerin obrolanku sama si mas). Terus dia protes kenapa tadi aku jalan bareng dan deketan lagi..
Hohoho ternyata lelaki itu cemburu saudara-saudara. Wow, bahagia sekali hatiku mengetahui hal ini. Walau sebetulnya sama sekali tak ada unsur kesengajaan. Aku tidak bercerita statusku, lha kupikir dia juga enggak nanya. Ngapain aku memberi semacam pengumuman :) Lagian urusanku dengan dia cuma karena dia mau nebeng, itu saja.
Tapi setelah kupikir-pikir lama, bener juga kekhawatiran lelaki itu. Sebagai perempuan yang sudah menikah, sudah selayaknya aku lebih menjaga diri. Dalam artian, sebetulnya aku bisa lebih awal mengambil sikap untuk tidak terlalu panjang bicara 'berdua' dengan dia dan mengarahkan perbincangan dengan melibatkan teman-teman lain. Karena, toh, sebenarnya kan ada lebih dari 2 orang dalam rombonganku tadi. Dan memang yang terlibat perbincangan "asyik" cuma aku dan si mas nebeng. Akhirnya kusadari fakta itu yang kemudian membangkitkan rasa cemburu lelaki itu.
Tapi aku bersyukur. Jarang-jarang lelaki itu menunjukkan sisi ini. Artinya dia beneran mencintai dan ingin menjagaku...Ehemm...
Nah, itu contoh dialog yang diawali dengan "pembacaan" sikap dan gesture tubuh. Kami, khususnya aku sering banget melakukan hal ini. Karena suamiku tipe orang yang nyaris tidak pernah marah, dan karena prinsipnya memang tidak mau menyakiti hati orang lain, jadi, kalau kesel, marah atau sejenisnya dia cenderung diam. Kalau tidak kukulik-kulik, dia juga tidak mau menyampaikan hal yang meresahkan hatinya itu.
Berbeda denganku yang sangat verbal. Kalau tidak suka sesuatu, aku akan langsung bilang tanpa pake memendam-mendam persoalan. Kalau sebel sama orang atau tengah resah karena sesuatu, aku pasti langsung nyerocos panjang banget. Cerita diselingi emosi yang meledak-ledak. Dan lelaki itu, sebagaimana tabiatnya sejak awal, mendengarkan dengan tenang. Tak pernah turut emosional lalu pelan-pelan mengajakku kembali berpikir rasional.
Alhamdulillah, berjuta syukur kupanjatkan pada Allah yang telah memasangkanku dengan lelaki itu. Kami memiliki tabiat yang bertolak belakang, hingga saling melengkapi. Dalam perjalanan rumah tangga yang baru seusia begini aku sering berpikir bahwa kami menikah dan tinggal bersama bukan merupakan jaminan bahwa kami benar-benar saling mengenal.Tetap ada karakter-karakter 'asing' yang kita temui dari pasangan kita. Kalau begini tidak ada jalan lain untuk menjamin sebuah rumah tangga akan langgeng, kecuali komitmen kedua belah pihak untuk saling belajar memahami pasangannya....
Jakarta, 30 Juni 2012
(awal bulan ini lelaki itu genap berusia 32 tahun)
Aku dan Lelaki Itu (2)
Aku dan Lelaki itu (1)
Sisi Lain Pulau Tidung
Pulau Tidung, salah satu desa wisata di Kepulauan Seribu. Sudah 3 kali aku mengunjungi tempat ini dalam 2 tahun terakhir. Terakhir kesana hari jumat (22/6) lalu, bersama 3 teman kantor untuk survey kegiatan Ummi dan Annida di sana.
Saat di kapal Muara Angke-Tidung, aku bertemu dengan seorang bapak berusia 40-an tahun, pegawai kecamatan di Tidung. Pak Ardi, sebut saja begitu, mengawali percakapan dengan penjelasan mengenai pelabuhan baru di Muara Angke.
Asal tahu saja, pelabuhan yang berada di dekat pom bensin pasar Muara Angke merupakan pelabuhan lama. Beberapa bulan terakhir, pemerintah sudah membangun pelabuhan baru di Muara Angke juga. Lokasi persisnya, setelah pasar ikan dan sebelum gerbang pelabuhan lama, belok kiri dan susuri jalan sekitar 2 km. Pemandangan di kanan kiri jalan sangat tidak sedap. Karena penuh sampah dan ikan asin yang sedang dijemur. Namun saat sampai di pelabuhan, kesan kumuh itu langsung hilang. Berganti dengan bangunan baru dengan warna cat yang masih jelas. Di tepi laut bersandar sekitar 5-7 kapal fery yang terlihat bersih.
"Semua penumpang di fery mendapat tempat duduk, mbak. Tapi kapasitasnya terbatas. Mungkin 1 kapal hanya sekita 100-150 kursi," ucap Pak Ardi.
Dengan kapasitas yang terbatas tersebut, jelas tidak bisa memenuhi kebutuhan angkutan untuk wisatawan yang berkunjung ke Tidung. Bayangkan, untuk satu hari saja saat weekend pengunjung Tidung bisa mencapai 7 ribu orang. Apalagi kapal fery di pelabuhan baru tak bisa di-booking alias semua calon penumpqng harus datang dan megantri didepan loket. Tak heran jika biro travel yang melayani wisata ke Tidung lebih suka memberangkatkan klien mereka melalui pelabuhan lama. Karena di pelabuhan lama ada puluhan kapal kayu dengan kapasitas 100-200 orang. Hingga bisa dipastikan semua terangkut. Bahkan para pemilik travel sudah biasa menyewa 1 kapal khusus untuk tamu-tamu mereka. Padahal suasana di sekitar pelabuhan lama juga jauh dari kenyamanan. Air limbah di sepanjang jalan dan bau ikan yang mnyengat membuat semua calon penumpang kapal terpaksa menutup hidung.
Sepertinya memang masih menjadi PR bersama untuk menciptakan fasilitas publik yang bersih dan nyaman.
Lalu iseng saja aku bertanya, "Bapak punya usaha travel?"
"Dulu saya punya, mbak. Tapi hanya bertahan 2 tahun. Karena ada yang bertentangan dengan hati dan akidah saya, usaha saya tutup," jawabnya.
Naluri ingin tahuku langsung muncul. Lalu kutanyakan lebih detil apa maksud dari jawaban tersebut.
Ternyata, yang dimaksudkan pak Ardi adalah peluang-peluang terjadinya maksiyat dari bisnis pariwisata. Misalnya dia tidak pernah benar-benar bisa mengontrol apakah penginapannya dihuni oleh orang yang berjenis kelamin sama atau tidak. Jika ternyata beda jenis, siapa juga yang menjamin mereka tidak melakukan hal-hal yang melanggar aturan agama. Belum lagi tuntutan melayani konsumen, misalnya si guide yang harus menemani tamu, yang seringkali melanggar waktu shalat.
"Sekarang sudah biasa pas waktu shalat jumat remaja dan para lelaki di Tidung masih di jalan atau di laut menemani tamu. Padahal dulu, kalau ada seorang lelaki yang masih di jalan saat shalat jumat, dia pasti malu. Karena semua orang disini saling mengenal," tambahnya.
Aku langsung takjub. Selama ini aku tidak memikirkan semua itu. Sebagai tamu, ya, aku nikmati saja perjalanan dan fasilitas. Tapi betul juga kekhawatiran yang Pak Ardi rasakan. Sudah selayaknya seorang muslim yang baik memikirkan semua hal itu.
Aku jadi ingat, saat berlibur ke Tidung pertengahan Maret lalu. Saat itu aku juga jengah, dimana-mana ketemu gadis muda bercelana pendek. Bahkan lebih parah lagi, saat snorkeling kelompok kami digabung dengan kelompok lain yang salah satu dari mereka memakai bikini two pieces saat berenang. Aduh..gimana, sih, rasanya. Kalau kamu bersama teman-teman laki-laki dan perempuan, sementara di antaramu ada yang berpakaian seperti itu. Pastinya risih, kan, walaupun mungkin sebagian dari kita akan bilang "Ah, cuek aja. Yang penting, kan, nggak saling ganggu."
Oke, kondisi-kondisi seperti ini memang tidak bisa benar-benar kita hindari. Tapi tidak juga kita biarkan begitu saja, kan?
Aku suka jalan-jalan ke mana saja. Aku suka berenang, snorkeling dan semoga suatu saat bisa diving. Dan biasanya anak-anak akan ngikutin kebiasaan atau kesukaan orangtuanya. Nah, bagiku ini jadi masalah buat anak-anakku nanti. Alangkah kasihannya anak lelakiku jika dia kuajarkan untuk menjaga diri dari melihat aurat perempuan, sementara saat dia berlibur justru 'disuguhi pemandangan' seperti itu. Kalau mau nyari pantai yang 'aman' dimanakah?apakah artinya kami sekeluarga tidak bisa berlibur ke pantai untuk menghindari kondisi itu? Susah, kan?
Aku nggak tahu apakah orangtua lain juga memikirkan hal ini. Namun aku berharap di masa yang akan datang, akan lebih banyak pilihan untuk konsumen. Mungkin akan ada tempat wisata yang lebih 'rapi'...sebgaimana sekarang sudah ada hotel syariah yang punya aturan lebih ketat pada tamu. Dan terbukti bahwa hotel syariah itu tetap punya segmen tertentu.
Kupikir ke depan perlu ada pengembangan tentang tempat wisata syariah yang tentu tetap menyuguhkan hiburan namun dengan 'pagar' nilai-nilai syariah. Tak ada salahnya, kan, berharap..Ini juga bisa menjadi peluang bisnis. Ayo, siapa tertarik membuka biro wisata 'syariah'?
Lucunya Sofie-ku
pinjam gambar dari duritajam.wed.id |
Saat ini, Sofie berusia 4,5 tahun. Aku lupa tepatnya sejak kapan dia aktif bertanya ''kenapa dan kenapa." Biasanya pertanyaan itu tak berhenti sampai aku balik bertanya dengan kata-kata, "Menurut Sofie kenapa?" Terkadang malah aku balik bertanya, "Kenapa Sofie begini dan begitu?" Dan, curangnya, dia sering jawab "Enggak tahu" jadi aku gak bisa melanjutkan pertanyaan :)
Sebulan terakhir, Sofie punya sahabat imajiner. Pada suatu malam sebelum tidur dia bilang begini, "Ibu, sofie boleh enggak main sebentar sama teman-teman Sofie?"
"Memang teman-teman Sofie siapa?" tanyaku.
"Ada anak burung dan anak kelinci?"
"Terus, teman-teman Sofie dimna?"
"Di situ.." (menunjuk disampingnya)
"Jadi mau main apa sama teman-temannya Sofie"
"Main loncat-loncat...boleh nggak?"
"Boleh..."
"Yippi....."
Hari lain,
"Sofie ayo bangun, mau ikut ayah dan ibu ke masjid enggak?"
"Mau...Ibu. Sofie boleh enggak mengajak teman-teman Sofie, anak burung dan anak kelinci?"
" Boleh..."
"Yippi...."
Pas lagi mandi,
"Ibu, tadi teman-teman Sofie, anak burung dan anak kelinci juga sudah mandi."
"Siapa yang memandikan?"
"Ibu burung dan ibu kelinci."
Sudah seminggu terakhir, teman-teman Sofie tidak hanya anak burung dan anak kelinci tapi juga anak jerapah, anak kuda nil, dan anak kanguru.
"Ibu, tadi Sofie berbagi makanan sama teman-teman Sofie, anak jerapah, anak kanguru, anak kuda nil, anak burung dan anak kelinci."
"Wah, hebat. Emang makanannya cukup untuk semua?"
"Cukup."
Sampai saat ini Sofie punya beberapa kosa kata yang mungkin sebetulnya di abelum paham apa arti kata tersebut. tapi dia sudah sering make..Misalnya,
"Ibu, hari ini Sofie memutuskan untuk mencari kupu-kupu"
"Emang memutuskan itu apa artinya fi?"
"Enggak tahu"
Suatu ketika,
"Sofie, ayo mandi. Sudah sore nih."
"Enggak mau, masih mau nonton Franklin."
"Fraklinnya di-stop dulu nanti habis mandi boleh nonton lagi."
"Tapi Sofie jadi bingung..." (lho!)
Hari lain,
"Sofie pipis dulu, yuk. Biar enggak ngompol!"
"Enggak mau. Sofie jadi bingung."
Kesimpulan sementara: "Jadi bingung" bagi Sofie berarti "Tidak mau."
Terus dia juga suka kebalik-balik kalau ngomong. Misalnya, nih, pagi ini,
"Hahaha...lucu," kata Sofie
"Apanya yang lucu fi?" tanyaku
"Sofie lucu soalnya kekenyangan.."
"Jadi maksudnya Sofie gak mau makan karena sudah kenyang?"
"Enggak Sofie mau makan..lapar."
"Jadi sebenarnya Sofie lapar apa kenyang?"
"Lapar mau makan.."
"Nah, Sofie jangan kebalik ngomongnya. Kalau mau makan itu lapar. Tapi kalau sudah habis makan itu namanya kenyang."
Satu lagi yang lucu. Beberapa saat yang lalu aku kasih tahu bahwa ada namanya kucing garong yang warnanya item. Lalu suatu ketika entah kenapa tahu-tahu dia bilang,
"Ibu ada kucing garem."
"Apa fi? kucing garong?"
"Kucing garem."
"Jadi kucing garong apa kucing garem?"
"Kucing garem...." (hehe dia bersikukuh bahwa bukan kucing garong tapi kucing garem)
Sofie-sofie ada-ada saja ^_^
Peta Hijau: Panduan Liburan yang Ramah Lingkungan
foto pinjam dari sini:cintastasiunjakarta.wordpress |
oleh keluarga. Momen penting ini biasa
dimanfaatkan dengan mengadakan kegiatan keluarga yang menyenangkan. Sebagian keluarga memilih mudik ke luar kota Jakarta, entah itu berlibur di rumah nenek, mengunjungi sepupu di kampung, maupun mendatangi kota wisata yang terkenal indah, Bali misalnya. Namun bagi yang memilih berlibur di Jakarta, tidak perlu khawatir. Selain ada banyak lokasi wisata yang menarik, sejak Maret 2009 telah hadir PETA HIJAU (Green Map) yang berisi informasi tempat yang memiliki makna terhadap lingkungan, budaya, dan interaksi masyarakat.
Bermain dengan burung di Taman Suropati |
siasana di Bundaran HI saat 'free car day' |
Menggampai Mimpi: Semeru
Mendaki Semeru, mimpi para pendaki. Gunung tertinggi di Jawa ini memiliki daya tarik yang luar biasa. Aku kesana 17-20 Mei 2012. Dari Jogja aku naik kereta bersama suami (Sigit) dan 1 teman, Abdi. Sampai Malang, jam 8 pagi dan langsung bergabung dengan 30-an teman dari Jakarta. Wow..ramai..
minjem foto koleksi Anggi |
suasana di basecamp Ranu Pani |
Dan tepat pukul 17.30 pendakian dimulai. Kami berjalan dan terus berjalan berjam-jam, terbagi dalam beberapa kelompok. Terengah-engah, istirahat, minum, makan coklat & cemilan, jalan lagi. Tiba di pos 1, 2, 3 dan akhirnya sampai di Ranu Kumbolo saat tengah malam. Tenda2 telah dipasang oleh tim yang datang duluan. Brrr....dinginnya jangan ditanya. Megang api sepertinya tak terasa panas. Setelah shalat dan minum hangat, aku ambil sleeping bag dan tidur.
Pagi di Rakum |
Lalu di-gelarlah beraneka makanan. Yang agak 'tradisional' memasak nasi goreng dan mie. Yang lebih modern, masak makaroni, bubur ayam, manggang roti bahkan bikin pancake saus strawbery. Wow..yummy..
Mandi pagi? Siapa yang berani..Tapi jangan salah kira ya. Meski tidak mandi tak ada yang bau kok. Sepertinya hawa dingin melenyapkan bau-bau keringat kami. Di rakum kami menikmati pagi yang indah. Matahari yang pelan-pelan naik, pohon-pohon yang makin jelas terlihat dan danau yang tampak lebih jernih. Saat hari makin siang ada juga sekelompok pendaki yang nyemplung berenang. Ada pula yang memanfaatkan kasur udara sebagai perahu dan berlayar di danau. Macam-macam deh...
Melihat Rakum dari tanjakan cinta |
Yang menjadi ciri pos rakum 'asli' yakni bangunan yang bisa dimanfaatkan untuk berteduh. Kami berhenti sebentar untuk foto-foto dan bersiap mendaki tanjakan cinta. Kalian pasti bertanya, kenapa disebut tanjakan cinta?Konon, kalau melewati tanjakan ini sambil membayangkan wajah seseorang dan tidak menoleh-noleh ke belakang hingga kita berhasil melalui tanjakan ini, maka orang yang kita bayangkan itu akan menjadi pendamping hidup kita. Benarkah legenda itu? Silakan coba untuk membuktikannya. Aku, sih, tidak tertarik. Karena orang yang aku harapkan sudah ada disampingku. hehe...
Dari tanjakan cinta kami menuju oro-oro ombo atau padang savana yang luas. Seperti di Afrika, kah? Mungkin, karena aku belum pernah ke sana ^_^ Di sini terdapat rumput-rumput pendek dan bunga-bunga lavender ungu. Perjalanan relatif mudah karena datar.
Lalu kami melanjutkan perjalanan ke hutan cemoro kandang. Dari sini perjalanan agak membosankan, 'hanya' melihat pohon-pohon. Sebagian dari pohon tersebut menghitam karena terbakar. Kami terus berjalan. Tepat pukul 17 dalam rintik hujan, kami sampai di kalimati atau basecamp 'terakhir' sebelum puncak Mahameru.
Alhamdulillah, rasanya tak percaya aku bisa menjejak tanah disini. Sujud tanda syukur kulakukan bersama shalat ashar yang dijamak ta'khir bersama dzuhur. Saat teman-teman rapat mempersiapkan summit attack (muncak), kusampaikan pada mereka bahwa kami (aku dan mas Sigit) tak ikut ke puncak. Banyak yang heran, kenapa? Entahlah, sejak awal berangkat aku merasa tidak ingin ke puncak. Salah satu alasannya pesan ibu untuk menuruti peraturan dari
badan meteorologi yang melarang pendaki
ke puncak. Alasan lain, aku merasa harus tau diri. Mahameru tidak seperti puncak gunung lain. sebelum menuju ke sana kita harus melalui lautan pasir yang siap "menenggelamkan" kaki. Sampai-sampai ada guyonan sesama pendaki bahwa untuk mencapai Mahameru kita harus bersiap dengan formasi 3-5 yang artinya 3 langkah maju dan 5 langkah mundur (karena terperosok pasir) . Jadi malam ini aq memilih tidur di tenda. Sungguh nyaman dan nyenyak tidurku malam ini. Karena tenda terasa lapang..hehe
Bubur Ayam "Kalimati" |
Paginya, kami dan 3 teman (Ali, Ariel dan Nena) yang tak ikut muncak menyiapkan sarapan untuk teman-teman. Masak nasi, goreng ayam, nuget, dll. Lalu satu persatu teman turun. Mungkin hanya ada setengah dari tim kami yang sampai ke puncak. Rata-rata turun lagi karena kehabisan minuman dan khawatir kena asap panas yang mengalir ke arah pendaki setelah jam 9 pagi. Terbukti bahwa Mahameru memang tidak mudah ditaklukkan.
Seharian aku menikmati pemandangan, foto-foto dan bersiap turun di sore hari. Dari Kalimati ke rakum dapat kami capai dengan waktu setengah kali lebih cepat dibanding kemarin. Lalu sempat masak-masak & makan di rakum.
Jam 11-an malam kami lanjutkan perjalanan dengan mengambil jalur Ayek-ayek. Beberapa pendaki menyatakan bahwa jalur ini rintisan Soe Hoek Gie bertahun-tahun yang lalu. Namun jarang yang melewati karena tidak banyak yang tahu. Kami memutuskan mengambil jalan ini karena katanya (entah kata siapa) lebih cepat sampai ke ranu pani meski medannya lebih berat.
Namun, apa yang terjadi? Masya Allah, sungguh tak terduga. Jalur ini ternyata berat luar biasa. Hampir 7 jam kami nyaris tak bisa istirahat karena jalur yang terus menanjak. Sama sekali tak ada tempat datar sekedar untuk duduk atau merebahkan diri. Rasanya aku pingin nyerah. Berkali-kali muncul godaan untuk mengeluh "Coba ya kalau tadi lewat jalur biasa aja. Paling 3-5 jam dah sampai Ranu Pani dan bisa istirahat".
Tapi beginilah hidup. Ada keputusan-keputusan yang sudah diambil dan kita harus siap dengan konsekuensinya. Jadi walau capek luar biasa, ngantuk karena tak tidur semalaman, nyaris putus asa karena jalan yang seakan tak berujung, tidak ada pilihan lain selain terus berjalan.
Sayangnya, saking capeknya, aku jadi tak bisa menikmati perjalanan. Padahal langitnya luar biasa indah. Bintang jatuh berkali-kali melintas. Dan kami seperti di atas awan saking tingginya.
Danau Ranu Pani dilihat dari jalur ayek2 |
Lalu kami makan, minum, mandi dan bersiap pulang. Aku dan mas sigit naik bis -bareng rombongan Semarang- dari terminal Arjosari-Surabaya dan lanjut Surabaya-Magelang. Kami sudah seperti orang mabuk. Duduk langsung zzzz (tidur pulas). Cuma bangun sebentar untuk bayar tiket lansung tidur lagi. Kami juga bangun saat di rumah makan, makan, minum dan langsung tidur lagi. Sampai Magelang jam 9 malam. Bahkan setelah di rumah-pun aku kembali melanjutkan tidur... ^_^
Terimakasih buat all team expecially tim ruku'
Pak Dahlan
(Saat membuat tulisan ini, aku tinggal bersama kakakku, di Bantul Yogyakarta. Saat itu beberapa bulan setelah gempa Jogja berlalu)
Aku punya tetangga, rumahnya di dekat gang rumah
mbakku. Suamiistri, bernama Pak Dahlan dan Mbak Is. Mereka punya 2 orang
anak, si sulung 5 tahun, dan si bungsu bayi 3 bulan. Pak Dahlan bekerja sebagai montir. "Kantornya" berupa bengkel sederhana di depan
rumahnya. Sedangkan Mbak Is, bekerja sebagai penjahit.
Pas musibah gempa kemarin
rumah mereka hancur. Alhamdulillahnya nggak sampai rubuh.
Walau begitu semua genteng melorot dan kayu-kayu di atap jatuh. Hingga rumah mereka tetap berdinding dengan beratap langit. Yang luar biasa adalah cara mereka
memandang kehidupan
Setelah gempa berlalu, Pak
Dahlan sama sekali tidak termasuk orang yang antri meminta
bantuan. Saat kutanya alasannya, dia menjawab bahwa seorang muslim tidak boleh meminta-minta ke
orang lain. "Tangan yang di atas lebih baik dari tangan yang dibawah," katanya.
Selama menjadi penjahit, Mbak Is, memilih selektif dalam menerima jahitan. Dia ‘menolak’ menjahitkan baju mini atau ketat yang kira-kira
bisa menimbulkan syahwat. Alasannya, ia takut ikutan berdosa karena menjahitkan baju untuk berbuat maksiyat.
10 hari
setelah gempa, mbakku datang ke rumah Pak Dahlan.
Di rumah mereka
tidak ada makanan. Hanya ada nasi dan singkong rebus yang
dicampur gula merah. Mbakku menawarkan bantuan sembako. Namun apa jawaban mereka?
"Coba berikan dulu ke orang lain, siapa tau ada yang lebih membutuhkan."
Masya
Allah…mulia sekali hati mereka. Walaupun akhirnya, setelah dipaksa-paksa
mereka mau menerima bantuan yang tidak seberapa itu.
Subhanallah…Hari gini…masih ada orang yang seperti itu. Mereka
tegar menghadapi segala kesulitan hidup. Mereka yakin sepenuhnya akan
pertolongan Nya. dan mereka sangat itsar (mendahulukan kepentingan
orang lain).
Seminggu-an setelah gempa mbak Is melahirkan anak
keduanya. Biar tidak menghabiskan banyak uang, sehabis melahirkan
mereka memaksa diri pulang dari rumah sakit. Tiga hari setelah melahirkan, mbak Is sudah
mencuci baju-bajunya sendiri, karena ada tetangga yang meminta tolong Pak Dahlan untuk membangun rumah yang rubuh karena gempa.
Semoga tetap istiqomah.
Salut buat keluarga pak Dahlan. Semoga
anak-anak kalian tumbuh jadi anak-anak yang cerdas dan memberikan
kontribusi yang besar pada umat. Para pemimpin negeri ini harus
belajar pada kalian. Biar Indonesia nggak ngutang melulu…
Arsip dari blog lama, "Mahameru", 14 September 2006
Bahagiakah Kamu?
Aku pernah bertanya pada seorang teman, “Apakah kamu
bahagia?”
Dia menjawab, “Aku bahagia.”
Lalu kutanya
lagi, “Apa yang membuatmu yakin bahwa kamu bahagia?”
Dia menjawab, “Aku bahagia karena masih hidup, punya teman-teman
yang baik dan lingkungan kerja yang menyenangkan.”
Lalu kutanya
lagi, “Apakah arti kebahagiaan bagimu? Apakah jika kamu tertawa
itu berarti kamu bahagia?”
Jawabnya, “Salah satu indikasi
aku bahagia memang ketika aku tertawa, walaupun tertawa tidak selalu
menjadi pertanda bahwa seseorang itu bahagia.”
Aku bertanya pada teman yang lain, “Kamu bahagia?”
Dia
menjawab, “Aku bahagia walaupun apa yang kuinginkan belum
kudapat.”
Dan aku menanyakan pertanyaan itu ke beberapa teman,
Ternyata jawabannya beragam,
Ada yang menjawan begini:“Bahagia dong, kan, aku punya keluarga yang baik, teman-teman
yang setia dan hidup yang menyenangkan..”
Ada lagi yang balik bertanya: ” Kamu lagi nggak bahagia ya Ain, kok, tanya-tanya soal
bahagia….?”
Sebagian menjawab begini:
” Aku bahagia, karena kamu tanya apakah aku bahagia..”
“Aku bahagia karena bisa melihat langit biru dan awan putih yang
begitu indah….”
“Aku bahagia karena akhirnya aku menikah dengan orang yang
kucintai…”
“Aku bahagia karena memang aku ingin selalu bahagia….”
Suatu ketika, karena terinspirasi dari nonton sebuah film, aku sms ke seorang temen:
“Kebahagiaan menjadi sesuatu yang murah bagi anak kecil,
tapi kenapa saat kita tidak kecil lagi, kebahagiaan itu sepertinya jadi mahal”
Dia
menjawab,
“Kita sering kerdil memandang sesuatu. Hingga kebahagiaan hanya kita maknai dari hal yang bersifat materi, padahal bahagia milik siapa aja….
Aku lalu ingat salah satu tulisan Miranda Risang Ayu,
Suatu ketika, dia
dan putri kecilnya sedang duduk berdua. Si kecil yang saat itu duduk di
pangkuanya bertanya:
“Ibu, kasih sayang itu gimana
ya?”
Miranda menjawab: ”Kamu pernah nggak merasa menyayangi
atau disayangi seseorang? atau sekarang kamu sedang merasa disayang
nggak?”
“Iya sih, aku sayang ibu. Tapi kok kasih sayang itu
nggak terasa ya?”
Sambil memeluk putrinya, Miranda berkata: “Ya
begitulah sayang, kita sering (baru) merasakan sesuatu jika sesuatu
itu sudah hilang…”
Di akhir tulisannya, Miranda menulis begini: dan kehilangan kasih sayang sungguh tidak perlu ada
contohnya.
Aku jadi berpikir,
jangan-jangan kebahagiaan juga begitu.
kita
baru merasa sesuatu itu membahagiakan ketika sesuatu itu telah hilang
dalam hidup kita. Bener nggak ya?
……………………………………
Arsip dari blog lamaku "Mahameru", 23 Agustus 2006
Menjadi Muda
beberapa waktu yang lalu keponakanku (umurnya 3 tahun) bertanya,
“Amah, Allah itu laki-laki atau perempuan?”
lalu
kujawab,
“Allah itu bukan laki-laki dan bukan perempuan…”
dia terlihat bingung
“Lha laki-laki apa perempuan..”
kujawab
lagi,
“Ya bukan laki-laki dan bukan perempuan…”
dia terlihat kesal,
dan sambil menghentakkan kaki, dia tanya
lagi:
“Lha tapi laki-laki atau perempuan..”
aku tersenyum,
lalu kutarik dia ke pangkuanku, dan kubisikkan
kata-kata,
“Na, Allah itu yang menciptakan kita..”
“karena
Dia yang menciptakan kita, jadi Dia tidak seperti kita..”
he he he…
sebenarnya obrolan itu masih berlanjut,
tapi
bukan obrolan itu yang ingin kutuliskan di sini,
aku hanya ingin
bilang bahwa pertanyaan Husna itu membuat aku semakin suka dengan
anak-anak,
karena mereka polos, jujur, berani dan bersih…
dan lagi-lagi aku teringat salah satu tulisan Miranda,
judulnya
“Menjadi Muda”
dalam tulisan itu Miranda bilang,
bahwa ciri
dari ke-muda-an bukanlah umur,
apalagi tampang,
namun hasrat
untuk selalu bertanya dan keberanian mencari jawaban…
dan itu juga yang membuatku begitu bahagia,
mendengar Husna
bertanya tentang Allah,
dan pertanyaan itu dihadirkan
dihadapanku..
mungkin jawaban yang kuberikan padanya belum tepat,
namun
semoga itu menjadi awal bagi dia
untuk terus menerus bertanya,
dan itu membuatku bersemangat,
untuk tidak pernah berhenti
bertanya,
biar awet muda gitu loh…
he he he………..
Arsip Blog lama-ku di Frienster, "Mahameru", 31 Agustus 2006