aini firdaus. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Cerita tentang Murid TPA-ku (1)


Pindahan dari blogku di Multiply

Ini adalah Nur. Nama lengkapnya Nurfaina. Aku kenal dengannya 1,5 tahun yang lalu. Waktu itu dia masih menjadi salah satu murid TPAku. Sekarang dia udah gak jadi murid TPA lagi, tapi dah naik tingkat jadi Asisten pengajar TPA.
Suatu ketika, sepulang dari masjid kami berjalan sama-sama. Lalu kutanya, “Nur kamu kelas berapa sih?”. “Saya udah gak sekolah kak”, jawabnya. “Lho, kenapa?” terus terang aku kaget. Kupikir selama ini dia masih sekolah. “Kemarin kan(tahun lalu) saya sudah lulus dari SD tapi nenek bilang tidak ada biaya untuk melanjutkan sekolah”, lanjutnya.
Hari gini, masih ada yang gak bisa masuk SMP karena gak ada duit? Pikirku. Kan dah ada dana BOS. Mulailah aku hunting informasi tentang kehidupan keluarga gadis kecil dengan tubuh kurus ini.
Dan, setelah tanya sana tanya sini, inilah hasil ‘liputanku’: Nur adalah anak pertama dari 2 bersaudara. Ibunya pergi ke Malaysia 8 tahun yang lalu, tapi hingga kini tiada kabar beritanya. Entah masih hidup entah tidak. Ayahnya, pergi kerja di kota lain, dan hanya menengok anak-anaknya sekali dua kali dalam setahun. Dan menurut informasi yangbisa kupercaya, si Ayah sudah punya keluarga lagi (istri dan anak-anak) di kota tempat dia bekerja –tentunya tanpa sepengetahuan Nur dan adiknya- di sini, NUr dan Rizal (adiknya).
Di sini, Nur di asuh oleh nenek dan kakeknya. Menurut neneknya, ibunya si Nur ini berangkat ke Malaysia ketika Nur berusia 4 tahun dan Rizal masih bayi merah. Sampai sekarang tidak pernah ada kabar, apakah si ibu masih hidup atau tidak. Sayangnya juga, sang kakek tidak punya pekerjaan tetap jadi mereka tidak  punya penghasilan rutin bulanan. Untuk makan sehari-hari mereka mengandalkan tanaman di halaman belakang rumah dan penjualan besi tua dan plastic –hasil pulungan- si nenek.

Menjelang tahun ajaran baru tahun 2007 lalu, aku mulai gencar melakukan pendekatan ke Nur dan neneknya. Targetku, Nur harus sekolah. Aku akan mengusahakannya dengan segala daya upaya yang aku punya. Mulailah Nur kutanya: “Nur, mau nggak sekolah lagi?”, tanyaku hati-hati. Si Nur yang dasarnya agak pemalu Cuma nunduk dan berkata lirih: “nanti tanya nenek dulu kak”, jawabnya. “Iya, coba bicarakan dengan nenek. Tapi kamu juga harus mulai memikirkan masa depanmu. Kalau kamu sekolah, insya Allah kamu akan mendapat ilmu. Dan dengan ilmu itu kamu bisa merancnag masa depan yang lebih baik. Kalau nenek khawatir dengan biayanya, insya Allah akan kak Aini bantu, “jelasku panjang lebar, berharap Nur punya semangat yang sama denganku untuk melanjutkan sekolah lagi.

Sehari, dua hari hingga tiga hari kutunggu-tunggu jawaban Nur tentang hasil perbincangannya dengan neneknya. Setiap hari kami bertemu di masjid, tapi aku sengaja tidak menanyainya lebih dulu, khawatir dia merasa didesak-desak terus. Tapi pas udah mendekati pendaftaran murid SMP, akhirnya kutanya juga anak kecil itu. “gimana Nur, apa kata nenek soal tawaran kan Aini?” tanyaku. “Entah itu kak, kata nenek nanti kalau biayanya banyak bagaimana?” jawabnya. “Ya udah, ayo kita ke rumahmu. Kak Aini ingin bicara dengan nenekmu”, putusku. Lalu aku bicara dengan nenek Nur. Kusampaikan bahwa sebenarnya saat ini biaya pendidikan untuk anak SD-SMP itu gratis. Kusampaikan juga bahwa sayang sekali anak secerdas Nur (kesimpulan sementaraku setelah melihat hasil raportnya dan testimony dari ustadzah pengajar TPA lain yang udah ngajar si Nur sejak masih kecil)harus putus sekolah. Bla bla bla. Akhirnya, Alhamdulillah si nenek mengizinkan Nur sekolah lagi. Tak terkira bahagia hatiku melihat senyum malu-malu si rambut panjang itu.
Hari-hari setelah itu, kami berburu sekolah. Waktu itu kan aku lagi hamil 5 bulan, Alhamdulillah-nya si jabang bayi sofie gak rewel. Ternyata, gak mudah juga cari sekolah. Syaratnya juga lumayan ketat. Fotonya tidak boleh foto SD (dengan alasan ada dasi SD-nya), jadi siang-siang di tengah terik siang bolong, kami berdua pergi ke tukang foto. Karena esoknya hari terakhir pengembalian formulir. Ada tes agamanya juga, tentang pengetahuan keislaman dan kemampuan membaca Alqur’an. Aku sudah seperti ibu-ibu yang punya anak mau masuk SMPJ Alhadulillah, Nur dapat melalui tes-tes itu dengan lancar, dan pas pengumuman, dia diterima di dua-duanya. Sebenarnya sih target kami di SMP 9 tapi sengaja kudaftarkan juga di SMP 6 sebagai cadangan bilamana Nur gak lolos di SMP 9.
Seminggu sebelum masuk sekolah, kami belanja baju seragam, sepatu, tas, buku tulis. Aku seperti ingat masa-masa SD dulu. Dan ketika Nur mulai masuk sekolah, aku berdo’a dari rumah: “Ya Allah, jadikan Nur sebagai anak yang bermanfaat. Mudahkan dia dalam menerima ilmu. Jaga dia dan berikan kemudahan-kemudahan dalam menuntut ilmu”. Aku gak tau masih akan berapa lama di bumi Sulawesi ini. Aku juga tidak tau, apakah aku (kami –lebih tepatnya- aku dan suamiku) bisa membiayai Nur untuk melanjutkan sekolah setelah dia lulus SMP nanti. Namun, tak ada salahnya bermimpi bahwa suatu saat nanti, Nur akan dapat melanjutkan pendidikannya hingga jadi orang yang berhasil. Dan ketika Nur sudah beranjak dewasa dan memiliki kemandirian dari sisi financial, dia akan tergerak untuk membiayai pendidikan satu orang lagi, entah itu adiknya, saudaranya, tetangganya atau siapapun. Sehingga akan terus ada gerakan yang sama. Bahwa setiap orang bertanggungjawab akan pendidikan seseroang yang lain. dan semoga suatu saat nanti, tidak akan ada lagi seorang anak kecil yang bermimpi memakai baju seragam dan ikut upacara, karena semua anak sudah dapat  mengenyam pendidikan. Untuk ilmu yang bermanfaat. Amiin.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Review Buku: Three Cups of Tea



Berguru pada Greg Mortenson

“Kalau kau ingin berhasil di Baltistan, kau harus menghargai cara-cara kami,” ujar Haji Ali, meniup-niup mangkok tehnya. “Kali pertama kau minum teh bersama seorang Balti, kau adalah orang asing. Kedua kalinya kamu minum teh, kau adalah tamu yang dihormati. Kali ketiga kau berbagi semangkuk teh,kau sudah menjadi keluarga, dan untuk keluarga kami, kami bersedia untuk melakkan apa saja, bahkan untuk mati sekalipun.” Haji Ali meletakkan tangannya dengan sikap hangat di atas tangan Mortenson. “Dokter Greg, kau harus memberi waktu untuk berbagi ketiga cangkir teh. Mungkin kami memang tidak berpendidikan, tapi kami tidak bodoh. Kami telah hidup dan bertahan di sini untuk waktu yang sangat lama.”
“Hari itu, Haji Ali memberikan pelajaran terpenting yang pernah kudapat, seumur hidupku.” kata Mortenson. “Kita, orang Amerika, selalu berpikir harus menyelesaikan segala sesuatu secepat mungkin. Haji Ali mengajariku untuk berbagi tiga cangkir teh, untuk bergerak lebih perlahan, menjadikan membangun persahabatan sama pentingnya dengan membangun proyek. Diajarinya aku bahwa ada lebih banyak hal yang bisa kupelajari dari masyarakat yang bekerja bersamaku, dibandingkan dengan apa yang bisa kuajarkan pada mereka.”
***
Three cups of tea, bercerita tentang kisah nyata seorang pendaki yang terpikat pada dusun terpencil di kaki Karakoram, gunung tertinggi kedua setelah Himalaya. Greg, dalam ketersesatannya sepulang dari Karakoram, menemukan suasana yang hangat dan bersahabat dari semua penghuni dusun Khorpe. Selama memulihkan diri, Greg berkeliling dusun dengan ditemani Haji Ali, sang nurmandhar atau semacam pimpinan dusun tersebut. Dan Greg terpukau, melihat penduduk yang masih hidup dengan begitu bersahaja. Lebih tercengang lagi, saat dia menyaksikan delapan puluh dua anak (78 anak laki-laki dan 4 anak perempuan) berlutut di atas tanah yang membeku, di tengah udara terbuka. Khorpe tidak punya sekolah, karena pemerintah Pakistan tidak mampu menggaji gurunya. Jadi, Khorpe berbagi guru dengan tetangga sebelah, Munjung. Guru itu mengajar 3 hari di Khorpe, selebihnya anak-anak belajar sendiri.
“Diletakkan kedua tangannya di atas pundak Haji Ali, seperti yang kerap dilakukan lelaki tua itu padanya semenjak pertama kali mereka berbagi secangkir teh. “Aku akan membangun sebuah sekolah untuk kalian,” katanya. “Aku akan membangun sebuah sekolah untuk kalian, “ kata Mortenson. “Aku berjanji.”

***
Teman, jangan membayangkan bahwa Mortenson adalah seorang kaya raya, yang berlimpah uang. Dia hanya seorang perawat, dengan gaji kecil yang seluruhnya dia dedikasikan buat Khorpe, sehingga membuat dia tidak cukup mampu untuk menyewa sebuah tempat tinggal yang layak. Dengan bermodal menyewa sebuah mesin ketik, sekitar tahun 1994, Greg mengirimkan 53 surat ke personal maupun organisasi yang kira-kira bisa dan mau membiayai cita-citanya itu.
Dari 53 surat itu yang akhirnya mendorongnya belajar ngetik di komputer, hanya ada 1 respon. Joen Hoerni, seorang milyuder yang berada di usia senja tertarik dan menyumbangkan 12 ribu dolar, seharga satu sekolah yang rencananya akan dibangun Greg di Khorpe.
Itu hanya merupakan awalan. Perjuangan Greg belum selesai, karena masih ada seribu satu masalah yang harus diselesaikan Greg sebelum akhirnya sebuah sekolah terbangun di Khorpe pada tahun 1995. setelah satu sekolah itu berdiri, satu demi satu Greg mengupayakan berdirinya sekolah di tempat-tempat terpencil di sekitar Afganistan.
Sebuah kisah yang luar biasa bagiku. Inspiratif dan penuh semangat. Sekaligus membuatku berpikir, Ada banyak hal yang bisa kita lakukan dalam hidup ini, tapi kita memilih tidak melakukannya. Ada seribu satu alasan yang membuat langkah kita terhenti, namun sejatinya ada berpuluh ribu cara yang bisa kita coba untuk mengatasi alasan yang cuma seribu satu itu. Pertanyaannya cuma satu, Mau nggak kita melakukannya?

pindahan catatan dari Multiply 2009

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Total Tayangan Halaman

Cari Blog Ini