aini firdaus. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Three Cups of Tea

Kalau kau ingin berhasil di Baltistan, kau harus menghargai cara-cara kami,” ujar Haji Ali, meniup-niup mangkok tehnya. “Kali pertama kau minum teh bersama seorang Balti, kau adalah orang asing. Kedua kalinya kamu minum teh, kau adalah tamu yang dihormati. Kali ketiga kau berbagi semangkuk teh,kau sudah menjadi keluarga, dan untuk keluarga kami, kami bersedia untuk melakkan apa saja, bahkan untuk mati sekalipun.” Haji Ali meletakkan tangannya dengan sikap hangat di atas tangan Mortenson. “Dokter Greg, kau harus memberi waktu untuk berbagi ketiga cangkir teh. Mungkin kami memang tidak berpendidikan, tapi kami tidak bodoh. Kami telah hidup dan bertahan di sini untuk waktu yang sangat lama.”
“Hari itu, Haji Ali memberikan pelajaran terpenting yang pernah kudapat, seumur hidupku.” kata Mortenson. “Kita, orang Amerika, selalu berpikir harus menyelesaikan segala sesuatu secepat mungkin. Haji Ali mengajariku untuk berbagi tiga cangkir teh, untuk bergerak lebih perlahan, menjadikan membangun persahabatan sama pentingnya dengan membangun proyek. Diajarinya aku bahwa ada lebih banyak hal yang bisa kupelajari dari masyarakat yang bekerja bersamaku, dibandingkan dengan apa yang bisa kuajarkan pada mereka.”
***
Three cups of tea, bercerita tentang kisah nyata seorang pendaki yang terpikat pada dusun terpencil di kaki Karakoram, gunung tertinggi kedua setelah Himalaya. Greg, dalam ketersesatannya sepulang dari Karakoram, menemukan suasana yang hangat dan bersahabat dari semua penghuni dusun Khorpe. Selama memulihkan diri, Greg berkeliling dusun dengan ditemani Haji Ali, sang nurmandhar atau semacam pimpinan dusun tersebut. Dan Greg terpukau, melihat penduduk yang masih hidup dengan begitu bersahaja. Lebih tercengang lagi, saat dia menyaksikan delapan puluh dua anak (78 anak laki-laki dan 4 anak perempuan) berlutut di atas tanah yang membeku, di tengah udara terbuka. Khorpe tidak punya sekolah, karena pemerintah Pakistan tidak mampu menggaji gurunya. Jadi, Khorpe berbagi guru dengan tetangga sebelah, Munjung. Guru itu mengajar 3 hari di Khorpe, selebihnya anak-anak belajar sendiri.
“Diletakkan kedua tangannya di atas pundak Haji Ali, seperti yang kerap dilakukan lelaki tua itu padanya semenjak pertama kali mereka berbagi secangkir teh. “Aku akan membangun sebuah sekolah untuk kalian,” katanya. “Aku akan membangun sebuah sekolah untuk kalian, “ kata Mortenson. “Aku berjanji.”
***
Teman, jangan membayangkan bahwa Mortenson adalah seorang kaya raya, yang berlimpah uang. Dia hanya seorang perawat, dengan gaji kecil yang seluruhnya dia dedikasikan buat Khorpe, sehingga membuat dia tidak cukup mampu untuk menyewa sebuah tempat tinggal yang layak. Dengan bermodal menyewa sebuah mesin ketik, sekitar tahun 1994, Greg mengirimkan 53 surat ke personal maupun organisasi yang kira-kira bisa dan mau membiayai cita-citanya itu.
Dari 53 surat itu yang akhirnya mendorongnya belajar ngetik di komputer, hanya da 1 respon. Joen Hoerni, seorang milyuder yang berada di usia senja tertarik dan menyumbangkan 12 ribu dolar, seharga satu sekolah yang rencananya akan dibangun Greg di Khorpe.
Itu hanya merupakan awalan. Perjuangan Greg belum selesai, karena masih ada seribu satu masalah yang harus diselesaikan Greg sebelum akhirnya sebuah sekolah terbangun di Khorpe pada tahun 1995. setelah satu sekolah itu berdiri, satu demi satu Greg mengupayakan berdirinya sekolah di tempat-tempat terpencil di sekitar Afganistan.
Sebuah kisah yang luar biasa bagiku. Inspiratif dan penuh semangat. Sekaligus membuatku berpikir, Ada banyak hal yang bisa kita lakukan dalam hidup ini, tapi kita memilih tidak melakukannya. Ada seribu satu alasan yang membuat langkah kita terhenti, namun sejatinya ada berpuluh ribu cara yang bisa kita coba untuk mengatasi alasan yang cuma seribu satu itu. Pertanyaannya cuma satu, Mau nggak kita melakukannya?

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Total Tayangan Halaman

Cari Blog Ini