aini firdaus. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Pencurian di Gunung Guntur

ki-ka belakang: Bimo, Ucup, Zaky, Hendra
Depan: Ken, Noni, Aini

Tanggal 15-17 Nov 2013 aku dan beberapa teman melakukan pendakian ke Gunung Guntur di Garut, Jawa Barat. Awalnya kami ingin mendaki Papandayan, tapi saat mendekati hari H, 4 orang membatalkan dengan berbagai alasan. Sebenarnya kami sudah mengajak beberapa teman, tapi rupanya bagi mereka yang sudah pernah mendaki Papandayan, gunung ini dianggap kurang menantang, jadi mereka enggan naik lagi ke sana.
Lalu salah satu teman, Hendra, mengusulkan untuk berganti destinasi. Bukan lagi Papandayan yang dituju melainkan Guntur. Singkat kata, tim baru terbentuk, dengan 3 perempuan dan 5 laki-laki. Kami janjian ketemu di Pasar Rebo, jumat malam sepulang jam kantor.
Perjalanan relatif lancar. Kami naik bus dari terminal Kp. Rambutan jam 23.30. Jalanan yang sedikit tersendat membuat kami sampai terminal Garut pukul 05.30. Di dalam bus banyak juga rombongan pendaki. Terlihat saat mereka turun, kondektur menurunkan tas-tas gunung berkapasitas 120 L.
Sampai di terminal Garut, kami melaju ke rumah salah satu teman yang akan memandu pendakian, Kang Maman. Di kost-an Kang Maman, kami membongkar isi tas, sekalian numpang mandi. Kami juga belanja sayuran dan beberapa keperluan yang belum lengkap. Tak lupa, tentu saja, mencari sarapan.
bawa bekal 'kembang kol' yang dikira 'brokoli' 
Jam 9 kami berangkat ke Guntun. Kurang lebih menempuh 20 menit perjalanan naik angkot kami berhenti di desa Tanjung. Pendakian dimulai dari sana. Kami berjalan menyusuri jalan desa. Tak lama kemudian ada truk pengangkut pasir, kami berdelapan menumpang truk tersebut hingga ke kaki gunung.
ini truk yg kami naiki
Kira-kira 30 menit terguncang-guncang di truk, truknya sempat macet juga karena jalanan tidak rata, kurang lebih jam 10 kami turun dari truk dan memulai pendakian. Medannya lumayan berat. Kami menyusuri hutan dengan kontur tanah yang miring. Nyaris tidak ada tanah datar sehingga kami mendaki dan terus mendaki.
Kami berhenti beberapa kali untuk istirahat, mengambil air dan shalat dhuhur jamak qashar dengan ashar. Setelah melalui hutan, medannya berupa padang savana dengan rumput-rumput setinggi badan manusia. Sepertinya tidak banyak pendaki yang naik, kami sempat melihat serombongan pendaki lain yang mengambil jalan berbeda.
Pendaki perempuan di tim kami, aku, Ken dan Noni, bisa dikatakan pendaki pemula. Aku sudah mendaki beberapa gunung, tapi itu sepuluh tahun yang lalu saat kuliah. Sejak menikah dan punya anak, aku baru mendaki lagi 3 tahun yang lalu di Gn Gede dan setahun lalu di Semeru. Sedangkan Ken baru mendaki sekali ke Gunung Gede. Sementara bagi Noni, pendakian ke Gn. Guntur adalah pengalaman perdananya.
padang savana
Karena itu melihat medan Gn Guntur kami sempat tidak yakin. Berat banget. Nyaris tidak ada bonus-bonusnya (istilah untuk tanah datar). Benar-benar mendaki.
Untunglah teman-teman seperjalanan kami, Hendra, Zaky, Bimo, Ucup dan Kang Maman orangnya asyik dan lucu. Jadi sepanjang perjalanan kami cerita-cerita, tertawa-tawa dan santai. Tidak terasa perjalanan mendekati pos batu besar yang menjadi sasaran kami mendirikan tenda. Alhamdulillah tepat jam 16 kami sampai di sana.
Hujan rintik-rintik membuat sore itu lebih banyak kami habiskan di dalam tenda. Anak laki-laki membuat semacam tenda terbuka di depan tenda anak perempuan yang berfungsi tempat berteduh sekaligus sebagai dapur. Sejak magrib sampai kira-kira jam 10 malam, kami memasak dan ngobrol seru. Tidak disangka para cowok itu hoby masak juga. Segala macam digoreng, mulai tempe, kentang, jamur kuping hingga bonggol-nya kembang kol. Gorengan itu dimakan dengan sambal terasi dan saus ABC. Yummy..
Kang Maman yang sudah 4 kali naik Guntur bercerita mengenai kejadian-kejadian yang dialami para pendaki. Guntur dikenal sebagai gunung yang rawan pencurian. Pernah ada kasus, kata Kang Maman, seorang pendaki cowok yang mendaki sendirian. Eh dia ditodong dengan pisau dan semua bawaannya dirampas, hingga dia turun hanya dengan memakai celana kolor.
Jam 21-an setelah shalat magrib jamak isya aku mulai mengantuk. Sleepingbag kugelar, dan aku mengambil tempat di pojok tenda. Tas kamera yang berisi kamera DSLR Canon, hp, power bank dan dompet kuletakkan di sebelah kiri kepala. Jadi posisi kepalaku adalah sisi paling dekat dengan pojokan tenda.
Aku sempat susah tidur karena udara yang sangat dingin dan sesekali tak bisa menahan tawa mendengar obrolan anak-anak di luar tenda. Jam 11-an malam anak-anak cowok terdengar asyik menelpon, entah teman, pacar atau keluarganya tentang suasana di puncak gunung dengan rembulan bulat dan suasana yang cerah.
Paginya, aku bangun karena takut ketinggalan shalat subuh. Ternyata masih jam 2 pagi. Lalu aku tidur lagi. Anehnya kaki dan kepalaku terasa hangat. Beda sekali dengan udara saat menjelang tidur yang dingin tidak kepalang.
Saat bangun kedua, sudah jam 5 pagi. Aku segera shalat subuh dan mencari-cari kacamata. Dimana ya kacamataku? Oiya aku ingat kacamata itu kuselipkan di antara pegangan tas kameraku. Lha, tas kameraku, dimana? Aku terus meraba-raba sambil merapikan tenda. Ken dan Noni ikutan terbangun dan membantu mencari tas.
"Ini kacamatamu, Mbak!" kata Ken.
Setelah berterimakasih, kacamata langsung kupakai dan dunia jadi lebih terang :) Tapi tas kameraku belum ketemu. Lalu kami mulai sadar kalau ada lobang di pojokan tenda. Ucup langsung memeriksa lobang itu. Ternyata lubang itu persis robekan yang dibuat dengan menggunakan pisau.
Oh...no... innalillahi wa inna ilaihi roji'un, sepertinya terjadi  pencurian di tenda kami. Semua langsung bangun, ikut memeriksa barang masing-masing. Kang Maman berteriak, mengumpat karena merasa teledor. Menjelang dini hari ia mendengar suara teflon (bekas memasak semalam) bergelontang, tapi ia malas bangun dan memeriksa karena dingin dan mengantuk.
Hiks, aku sedih. Kamera itu kubeli dengan uang yang kukumpulkan dari penghasilan tambahan diluar kerjaan resmiku sebagai wartawan di Majalah Ummi. Kamera itu juga belum setahun kubeli. Apalagi disana tersimpan foto-foto perjalanan sejak kami mendaki kemarin pagi.
Tapi ya sudahlah, tas kameraku benar-benar hilang. Berisi kamera DSLR Canon D 1100, power bank pinjaman, ponsel samsung galaxy mini dan uang sekitar 400 ribu rupiah. Kalau dinalar sepertinya mustahil pencurian itu dilakukan. Karena, kan, si pencuri tidak tahu isi tenda. Masak iya, dia bisa  menerawang dan mengetahui lokasi barang berharga lalu menyobek tenda pas di tempat barang berharga tersebut. Anehnya lagi, kan, ada kepalaku di sisi kamera. Jadi kalau memang si pencuri gambling menyobek tenda, lalu memasukkan tangan dan mengambil barang apa saja di pojokan tenda, harusnya tangan itu kena kepalaku dulu, baru megang tas kamera.
sarapan oseng kembang kol+jamur+paprika
Tapi, ya, mungkin karena si pencuri profesional, yang jelas tasku hilang dan tenda disobek. Haduh, langsung merosot semangat kami untuk mendaki ke puncak pagi itu. Berbagai teori dilontarkan teman-teman. Tapi, ya, tidak ada yang benar-benar mengerti bagaimana pencurian itu bisa terjadi.
Aku sempat browsing dan menelpon kantor polisi setempat (pake hp Noni). Ada polisi yang mengangkat telpon, tapi saat mengetahui posisiku di Gn Guntur, suara di seberang telpon menyuruhku menelpon ke kantor polisi lain. Hingga tiga nomr telpon kutekan, nomor terakhir tidak ada yang menjawab. Ya..sudahlah..
Menjelang siang ada beberapa pendaki lain yang turun. Ada pendaki yang bercerita kalau di atas ada anak yang kehilangan tas berkapasitas 90L beserta isinya. Tendanya juga disobek. Mereka mencurigai aksi itu dilakukan oleh orang yang sama.
Pagi itu, kami memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan ke puncak. Kami sarapan sebentar, foto-foto dan beres-beres. Menjelang jam 10 kami bersiap turun.
Alhamdulilkah perjalanan saat turun relatif lancar. Kondisi tanah yang berpasir membuat kami memilih meluncur. Baju, terutama bagian pantat jadi kotor, sih. Tapi asyik..Seperti main seluncuran.

Memasuki perkampungan penduduk, kami melihat segerombolan ornng seperti sedang main kartu. Ada anjing-anjing besar di sana sini. Jalanan becek, sebagian berlumpur, bekas hujan. Kami terus berjalan.
Kira-kira jam 17 kami sampai di jalan raya tempat nunggu angkot. Kami mampir di warung makan lesehan untuk mengisi perut dan shalat. Saat shalat aku tiba-tiba ingat, saat di atas, kan, aku berencana melaporkan kehilangan ke petugas atau pengurus desa setempat. Kenapa aku bisa lupa, ya. Kubayangkan si pencuri pasti senang dan merasa bebas saat tidak ada laporan atas tindak kriminalnya
Selesai makan, aku langsung menyampaikan ke Kang Maman keinginanku untuk melapor pada petugas setempat.
"Waduh, kenapa tidak dari tadi ngomongnya!" Kata Kang Maman. Rumah ketua RW yang sekaligus menjadi penanggungjawab pendakian Gn Guntur ada di puncak, di dekat lokasi orang main kartu yang tadi kami lewati.
Aku benar-benar lupa dan baru ingat setelah shalat tadi. Oke, aku ada ide untuk naik ojek. Aku pikir, ini ikhtiar yang harus kulakukan. Aku tidak akan tenang kembali ke Jakarta, jika belum melaporkan tindak kejahatan ini. Walaupun, tentu saja, sepertinya kecil kemungkinan barang-barangku akan kembali.
Alhamdulillah di warung tersebut ada mas-mas yang bisa mengantarku ke atas. Kami naik motor, sekitar jam 18. Jalanan gelap, berbatu dan banyak tanah berlobang dengan kubangan air hujan. Sempat bertanya di sana sini, akhirnya kami sampai di rumah bu Tati, ketua RW sekaligus penanggungjawab urusan pendakian di Gn Guntur.
Aku sampaikan masalah yang kualami. Kuceritakan kronologis kejadiannya. Bu Tati kaget banget, selama ini memang sering ada kejadian kehilangan tapi biasanya terjadi di "bawah" maksudnya di lokasi yang hitungannya masih di lereng atau kaki gunung. Belum pernah ada laporan kehilangan yang terjadi di puncak atau di lokasi pos batu besar tempat kami nge-camp.
Bu Tati juga menyesalkan kami yang tidak mendaftar. Rupanya jarang sekali ada pendaki yang mendaftar, terutama mereka yang numpang truk pasir. Rupanya jarak rumah bu Tati yang juga berfungsi sebagai pos pendaftaran masih relatif jauh dengan lokasi tempat para pendaki turun dari truk pasir. Nah, karena, para pendaki menganggap tidak ada kewajiban mendaftar, dan mereka memilih turun dari truk di lokasi paling dekat dengan kaki gunung, jadilah tidak banyak yang mendaftar.
Bu Tati sendiri kesulitan untuk membuat aturan yang mewajibkan pada pendaki mendaftar. Aku lalu melihat buku pendaftaran pendakian. 
Akhir pekan ini, aku memperkirakan minimal ada 30-an pendaki yang naik bersama kami. Namun tidak satupun pendaki yang terdaftar. Data terakhir, pendakian tanggal 4 november yang dilakukan oleh 5 peserta.
Aku juga melihat laporan-laporan kehilangan, rata-rata terjadi pada tahun 2010-2011. Ngeri juga, sempat terjadi pemerkosaan pengunjung air terjun yang terletak di kaki Guntur pada 2010.
Tidak ada laporan kehilangan terbaru. Nah, ini, menurutku, penyebab di pencuri bebas berkeliaran di Gunung Guntur. Pantas saja dia merasa bebas menjalankan aksinya karena memang tidak ada laporan dan tindakan yang jelas. Aku membayangkan, setiap pekan si pencuri bebas berkeliaran, merobeki tenda, mengambil barang-barang milik pendaki dan dia melenggang santai.
Memang, sih, sebagai korban muncul perasaan pasrah. Ya, barang sudah hilang mau gimana lagi. Atau malas melaporkan, toh barang tidak  akan kembali.
Tapi menurutku, dengan kita melaporkan kehilangan pada petugas setempat akan  ada data. Dan masak iya, bu Tati dan pengurus RT dan RW setempat akan diam-diam saja kalau tahu banyak kasus kehilangan di lokasi yang menjadi wilayah kekuasaan mereka. Dan siapa tahu jika suatu saat mereka membuat strategi dan menangkap si pencuri tersebut.
Dengan melaporkan tindak kejahatan yang kita alami, menurutku, nih, kita bisa menyelamatkan saudara-saudara sesama pendaki. Minimal mereka akan mendapat arahan dari petugas untuk lebih berhati-hati. Dengan syarat, mendaftar dulu secara resmi sebelum memulai pendakian. Aku juga menyesal tidak mendaftar secara resmi. Karena kupikir tidak ada pos pendaftarannya. Aku juga sudah memberi masukan agar bu Tati dan jajaran pengurus setempat membuat aturan yang mewajibkan semua pendaki mendaftar secara resmi. Dengan begitu akan ketahuan siapa saja yang tengah mendaki. Data ini juga sangat bermanfaat jika ada kejadian yang tidak diinginkan, misalnya pendaki tersesat atau mengalami kecelakaan.
Alhamdulillah, rasanya lega setelah bertemu bu Tati dan melaporkan kejadian yang kualami. Ini ikhtiar yang kulakukan dan sekarang saatnya menyerahkan semua pada Allah. Semoga Allah ganti dengan hal yang lebih baik.
Pendakian di Guntur mengajarkan sesuatu kepadaku, bahwa kita mesti waspada dan berhati-hati, meski di gunung sekalipun. Juga ikhtiar maksimal, minimal agar orang lain tidak mengalami hal buruk sebagaimana yang kualami.
Aku tidak menyesal melakukan pendakian ini, meski aku kehilangan barang-barang yang kalau ditotal senilai 8 juta rupiah. Aku mendapat banyak pengalaman berharga, terutama tentang rasa kehilangan, ikhtiar dan tawakkal. Teman-temanku seperjalanan juga sangat baik dan lucu. Membuat pendakian ke Guntur menjadi satu lagi pengalaman yang tak terlupakan dalam hidupku..


*sumber foto dari teman2 seperjalanan: ken, hendra, bimo dan noni

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Total Tayangan Halaman

Cari Blog Ini