aini firdaus. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Aku dan Lelaki Itu (2)

Aku sudah menikah dan tinggal bersama lelaki itu, 5 tahun 5 bulan. Eh, ralat, dikurangi 11 bulan saat dia dapat beasiswa dan kuliah S2 di Belanda. Jadi totalnya 4 tahun 4 bulan. Apakah sekarang dia bukan lagi menjadi sosok yang misterius?
Secara umum, sih, iya. Aku sudah cukup mengenalnya. Bahkan kami sudah mulai bicara tanpa bahasa. Apa maksudnya? Jika kita dekat dengan seseorang, biasanya, dengan bahasa tubuhnya saja kita bisa menangkap apa yang dia rasakan. Salah satunya kejadian saat kami naik gunung pertama setelah menikah. Saat itu, malam hari dan kami terpisah beberapa puluh meter.

Aku di depan bersama beberapa teman berjalan sambil ngobrol. Kebetulan ada tim lain yang berhenti lalu bergabung dengan kami.
"Numpang, ya, mbak, Soalnya senter kami mati," kata salah satu dari dua orang lelaki.
" oo silakan," kataku.
Karena nebeng, ya si cowok jalan di belakangku, terkadang pindah ke sebelah kalau jalannya lagi lapang. Lalu mengalirlah percakapan 'normal' tentang asal, pekerjaan dan serba sergi gunung, Cukup lama kami ngobrol walau sebetulnya tidak hanya berdua. Dalam 1 rombongan yang kami jalan bareng kira-kira ada 5 orang.
Beberapa kali aku menoleh ke belakang, ternyata suamiku sudah dekat. Tapi aku heran, kenapa, sih, dia seperti menjaga jarak. Padahal aku nunggu-nunggu dia untuk gabung dengan rombonganku. Awalnya kupikir, ah, mungkin dia juga lagi pingin bareng sama rombongannya, sekitar 5 orang yang laki-laki semua. Ya, aku pikir ada saatnya juga kami gak jalan bareng, biar bisa membaur juga dengan teman-teman.
Tapi lama-lama aku curiga. Ini pasti ada yang tidak beres. Kenapa lelaki itu seakan menghindar. Tiap aku berhenti buat nungguin dia eh dia ikut berhenti juga. Kalau aku jalan dia juga ikutan jalan dengan menjaga jarak. Aku samperin aja, deh. Biar enggak jadi bahan pikiran.
Lalu aku bilang ke mas-mas yang tadi minta ijin nebeng senter, "Mas, silakan bareng sama teman yang ini, ya, saya mau gabung sama tim belakang."
"Oke, makasih tebengannya, ya, Mbak."
"Sama-sama"

Lalu aku samperin rombongan di belakang.
"Mas, kenapa, sih, kok aku merasa beda."
"Gak pa-pa," jawabnya pendek
(Nah, ini mencurigakan. pasti ada apa-apa. Kok dia jawabnya pendek begitu...)
"Dari tadi aku nungguin Mas lho, emangnya Mas nggak tahu?"
"Tahu"
(tuh kan..dia jawabnya pendek lagi. Kalau kayak gini aku langsung teringat sosoknya sekian tahun lalu yang 'misterius' dan seperti menutup dirinya dari siapapun)
"Lha, terus kenapa Mas nggak nyamperin aku? Mas kalau ada masalah ngomong dong. Aku enggak suka dicuekin kayak gitu? Kalau aku ada salah, Mas sampein dong. Aku enggak bisa kalau diem-diem-an kayak gini."
(Udah mulai nggak stabil nih, emosiku. Antara kesal, sebel dan pingin nangis. Gimana, sih, rasanya dicuekin sama suami sendiri)

Awalnya dia nggak mau ngomong. Tapi setelah kukulik-kulik, kupancing-pancing akhirnya saudara-saudara dia mau cerita. Intinya dia tuh, sebel, kenapa dalam perbincanganku dengan si mas-mas yang tadi nebeng senter, aku sama sekali gak cerita kalau aku sudah menikah dan punya anak (rupanya tadi dia ndengerin obrolanku sama si mas). Terus dia protes kenapa tadi aku jalan bareng dan deketan lagi..

Hohoho ternyata lelaki itu cemburu saudara-saudara. Wow, bahagia sekali hatiku mengetahui hal ini. Walau sebetulnya sama sekali tak ada unsur kesengajaan. Aku tidak bercerita statusku, lha kupikir dia juga enggak nanya. Ngapain aku memberi semacam pengumuman :) Lagian urusanku dengan dia cuma karena dia mau nebeng, itu saja.

Tapi setelah kupikir-pikir lama, bener juga kekhawatiran lelaki itu. Sebagai perempuan yang sudah menikah, sudah selayaknya aku lebih menjaga diri. Dalam artian, sebetulnya aku bisa lebih awal mengambil sikap untuk tidak terlalu panjang bicara 'berdua' dengan dia dan mengarahkan perbincangan dengan melibatkan teman-teman lain. Karena, toh, sebenarnya kan ada lebih dari 2 orang dalam rombonganku tadi. Dan memang yang terlibat perbincangan "asyik" cuma aku dan si mas nebeng. Akhirnya kusadari fakta itu yang kemudian membangkitkan rasa cemburu lelaki itu.
Tapi aku bersyukur. Jarang-jarang lelaki itu menunjukkan sisi ini. Artinya dia beneran mencintai dan ingin menjagaku...Ehemm...

Nah, itu contoh dialog yang diawali dengan "pembacaan" sikap dan gesture tubuh. Kami, khususnya aku sering banget melakukan hal ini. Karena suamiku tipe orang yang nyaris tidak pernah marah, dan karena prinsipnya memang tidak mau menyakiti hati orang lain, jadi, kalau kesel, marah atau sejenisnya dia cenderung diam. Kalau tidak kukulik-kulik, dia juga tidak mau menyampaikan hal yang meresahkan hatinya itu.

Berbeda denganku yang sangat verbal. Kalau tidak suka sesuatu, aku akan langsung bilang tanpa pake memendam-mendam persoalan. Kalau sebel sama orang atau tengah resah karena sesuatu, aku pasti langsung nyerocos panjang banget. Cerita diselingi emosi yang meledak-ledak. Dan lelaki itu, sebagaimana tabiatnya sejak awal, mendengarkan dengan tenang. Tak pernah turut emosional lalu pelan-pelan mengajakku kembali berpikir rasional.

Alhamdulillah, berjuta syukur kupanjatkan pada Allah yang telah memasangkanku dengan lelaki itu. Kami memiliki tabiat yang bertolak belakang, hingga saling melengkapi. Dalam perjalanan rumah tangga yang baru seusia begini aku sering berpikir bahwa kami menikah dan tinggal bersama bukan merupakan jaminan bahwa kami benar-benar saling mengenal.Tetap ada karakter-karakter 'asing' yang kita temui dari pasangan kita. Kalau begini tidak ada jalan lain untuk menjamin sebuah rumah tangga akan langgeng, kecuali komitmen kedua belah pihak untuk saling belajar memahami pasangannya....

Jakarta, 30 Juni 2012
(awal bulan ini lelaki itu genap berusia 32 tahun)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Aku dan Lelaki itu (1)


Posting lagi tulisan lama..
Aku mengenalnya 6 tahun yang lalu. Saat itu aku ikut sebuah acara pelatihan di kampusku. Laki-laki itu awalnya tidak berada di tengah-tengah panitia. Baru hari ke-2 atau ke-3 (tepatnya aku lupa) laki-laki itu memasuki ruang aula tempat acara kami dilaksanakan. Oo mas itu panitia juga tho?
1,5 tahun  setelah kegiatan itu aku sudah aktif di kampus, kuliah, organisasi, naik gunung, bersepeda keliling kampus, asik sekali. Sosok itu hampir terlupakan dalam hidupku. Lalu aku bertemu lagi dengannya dalam sebuah diskusi komunitas. Seorang teman diskusi mengajak laki-laki itu bergabung dalam komunitas kami. Sebuah komunitas berisi beberapa mahasiswa yang mulai ‘jenuh’ dengan hingar bingar organisasi di kampus dan ingin mencoba melakukan program pemberdayaan untuk masyarakat. Itulah awal interaksiku yang lumayan intens dengan laki-laki itu.
Meskipun sudah sering bertemu dalam forum diskusi, laki-laki itu tetap misterius bagiku. Dia begitu unik, pendiam tapi begitu berbicara aku sering ternganga-nganga dengan ide-ide barunya. Dia juga seseorang yang sangat ‘stabil’, rasanya belum pernah sekali-pun aku melihat dia marah –bahkan sekedar menaikkan nada suaranya-, sangat berbeda dengan diriku yang  meledak-ledak. Satu hal yang membuatku sangat tertarik dengan laki-laki itu adalah independensinya. Dia begitu bebas menjadi dirinya sendiri, tidak jarang pendapatnya begitu berbeda dengan banyak teman, pernah juga dia melakukan sesuatu yang bikin banyak orang terheran-heran nyaris  tak percaya. Ya, dia memang special.. tapi tetap saja dia sosok yang begitu jauh bagiku.
Tahun 2003, suatu hari di depan sebuah terminal di sebuah kota di Jawa Timur aku berbincang dengannya. Waktu itu berlima dengan teman satu komunitas kami mengadakan kegiatan di sana. Malam itu hampir 5 jam kami nunggu bis yang akan membawa kami kembali ke Yogyakarta. Hampir 2 jam kami berbicara, sambil berdiri di pinggir jalan. Awalnya cerita tentang kampung kami masing-masing, lalu kami bicara tentang cita-cita akan  masyarakat seperti apa yang ingin kami bangun. Entah kenapa waktu itu aku jadi sangat tertarik dengan laki-laki ini. Bagiku, ide-ide dia tentang komunitas dan masyarakat mandiri sungguh  orisinal.
Setelah malam itu, aku berharap ada kesempatan lain bagi kami untuk melanjutkan perbincangan kami malam itu. Ternyata, kesempatan itu tidak pernah datang lagi.
Waktu terus berjalan, ada banyak hal yang menungguku untuk segera menyelesaikannya. Interaksi dengan teman-teman KKN dan penduduk desa di lokasi KKN seperti memberi kehidupan baru. Paska KKN, skripsi sudah menanti. Jadilah aku punya rutinitas baru, ngubek-ubek perpustakaan, begadang di depan komputer dan terkantuk-kantuk menunggu dosen pembimbing datang. 
Dimana laki-laki itu? Ada kabar dia lagi ada studi banding ke Jerman, beberapa bulan kemudian denger-denger dia ikut seminar ke Vietnam atau kemana gitu aku gak begitu jelas dapat kabarnya. Sepertinya laki-laki itu juga punya kehidupan sendiri yang berbeda dengan kehidupanku.
 Setelah berjibaku hampir 2 tahun, kelar juga skripsiku. Aku mulai banyak memiliki waktu luang lagi dan kuputuskan kembali aktif ke komunitasku dulu dimana aku bertemu laki-laki itu.
Ternyata laki-laki itu juga sudah tidak aktif di komunitasku. Terakhir kudengar kabar dia sudah lulus ujian skripsi beberapa bulan sebelum aku, tapi karena begitu cueknya dia dengan segala aturan kampus, bisa-bisanya dia ketinggalan mendaftar wisuda. Terus kudengar kabar lagi, dia bergabung dengan sebuah LSM dan ikut proyek pendampingan masyarakat di lereng Gunung entah mana, aku tidak bisa mengingatnya dengan jelas.
Tahun 2005 aku wisuda dan mulai bekerja. Asik juga jadi perempuan lajang dan sudah bekerja. Suka-suka aja mau pake uang gajian buat apapun. Asik juga mau pulang malem-malem, mau pulang sore-sore, mau nginep di rumah temen, Hanya saja aku jadi jarang naik gunung lagi, karena pekerjaanku tidak bisa ditinggal lama..
Terkadang aku masih mampir ke sekretariat tempat komunitasku dulu. Dan sesekali ada kabar tentang laki-laki itu. Kabar yang kudengar dia kerja di sebuah lembaga keuangan syaria’ah. Dia? Kerja di sana? Bagiku terasa agak aneh. Apa, ya, yang dicari laki-laki itu? Kupikir selama ini dia enggak tertarik dengan ekonomi syari’ah. Kata temenku yang  di komunitas, lelaki itu punya idealisme yang ingin dia wujudkan –salah satunya- lewat lembaga syari’ah tempat dia bekerja. Ooo gitu…sedikit masuk akal.
Sampai pada titik ini sosok laki-laki itu semakin terasa ‘jauh’ denganku. Dia punya kehidupan sendiri, aku juga. Kami satu komunitas, sering diskusi bersama-sama teman yang lain, beberapa kali terlibat kerja kepanitiaan bersama, tapi tetap saja aku merasa tidak begitu mengenalnya. Berbeda jauh dengan teman laki-laki yang lain dalam komunitasku itu. Entahlah, aku hanya merasa laki-laki itu menjaga ‘jarak’ dan  begitu asing bagiku…
Waktu terus  berjalan, gempa Yogya 26 Mei 2006 menjadi bagian dari kehidupan yang kulalui. Pengalaman pertamaku menemui korban yang begitu banyak. pengalaman pertamaku juga melihat  mayat-mayat yang ditidurkan berjajar, banyak banget. Lebih dari 50 orang. Sedih melihatnya. Aku yang tidak tergores sedikitpun merasa hampa. Bahkan seharian setelah gempa itu aku enggak bisa makan apa-apa. Bagaimana bisa makan kalau di kanan dan kirimu ada korban yang berlumuran darah, sampai-sampai bau udara pun terasa anyir. Mungkin ini yang dinamakan trauma psikologis.
Yang paling berharga dari musibah gempa itu adalah terjalinnya ikatan persaudaraan yang begitu erat antara aku dan masyarakat –khususnya remaja masjid- sekitar rumah mbakku (tempat aku tinggal setahun terakhir).
Bagaimana kabar laki-laki itu? Salah seorang teman se-komunitas mengabarkan kalau laki-laki itu menerima pekerjaan baru di belahan pulau lain yang jauh sekali dari Yogya. Aku pikir mungkin aku akan kehilangan laki-laki itu selamanya. Entah kapan kami bisa bertemu lagi. Walaupun aku tidak begitu mengenalnya, laki-laki itu adalah sahabat yang baik bagiku…..
Pada suatu hari, aku sedang ada acara dengan para remaja masjid dekat rumah, ketika hp-ku berbunyi, ada sms yang masuk, dan eng ing eng, tak ada angin tak ada hujan, laki-laki itu mengirim sms kepadaku. Menanyakan kabar dan…apakah aku sudah menikah…aku merasa ada yang aneh dengan pertanyaan itu.
Mungkin kamu bisa menduga bahwa sms itu adalah awal dari semuanya. Dan…singkat cerita, aku malah menyusul laki-laki itu ke pulau yang jauh itu, karena,  3 bulan setelah sms itu kami MENIKAH. Yaa benar, laki-laki itu adalah Muhammad Sigit Andhi rahman , yang sebagian teman kami memanggilnya Emsi. Laki-laki itu juga adalah ayah dari bayi kecil berumur 6,5 bulan yang bernama Sofie Hilmia Rahman.
Dan ini adalah bagian hidup yang penuh rahasia itu. Laki-laki asing dan aneh yang kukenal 6 tahun lalu ternyata menjadi laki-laki yang paling kukenal dan menjadi orang paling dekat denganku.
Seringkali aku bilang sama dia: “Mas, aku pengen, deh, nikah lagi…”
Saat wajah laki-laki itu mulai agak mendung aku akan meneruskannya dengan iseng: “aku pengen nikah lagi denganmu, biar kita jadi pengantin baru seumur hidup”..hehehe

7 Juni 2008
Selamat Ulang Tahun Laki-laki ku, I love u so much…  

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Sisi Lain Pulau Tidung



Pulau Tidung, salah satu desa wisata di Kepulauan Seribu. Sudah 3 kali aku mengunjungi tempat ini dalam 2 tahun terakhir. Terakhir kesana hari jumat (22/6) lalu, bersama 3 teman kantor untuk survey kegiatan Ummi dan Annida di sana.
Saat di kapal Muara Angke-Tidung, aku bertemu dengan seorang bapak berusia 40-an tahun, pegawai kecamatan di Tidung. Pak Ardi, sebut saja begitu, mengawali percakapan dengan penjelasan mengenai pelabuhan baru di Muara Angke.
Asal tahu saja, pelabuhan yang berada di dekat pom bensin pasar Muara Angke merupakan pelabuhan lama. Beberapa bulan terakhir, pemerintah sudah membangun pelabuhan baru di Muara Angke juga. Lokasi persisnya, setelah pasar ikan dan sebelum gerbang pelabuhan lama, belok kiri dan susuri jalan sekitar 2 km. Pemandangan di kanan kiri jalan sangat tidak sedap. Karena penuh sampah dan ikan asin yang sedang dijemur. Namun saat sampai di pelabuhan, kesan kumuh itu langsung hilang. Berganti dengan bangunan baru dengan warna cat yang masih jelas. Di tepi laut bersandar sekitar 5-7 kapal fery yang terlihat bersih.

"Semua penumpang di fery mendapat tempat duduk, mbak. Tapi kapasitasnya terbatas. Mungkin 1 kapal hanya sekita 100-150 kursi," ucap Pak Ardi.

Dengan kapasitas yang terbatas tersebut, jelas tidak bisa memenuhi kebutuhan angkutan untuk wisatawan yang berkunjung ke Tidung. Bayangkan, untuk satu hari saja saat weekend pengunjung Tidung bisa mencapai 7 ribu orang. Apalagi kapal fery di pelabuhan baru tak bisa di-booking alias semua calon penumpqng harus datang dan megantri didepan loket. Tak heran jika biro travel yang melayani wisata ke Tidung lebih suka memberangkatkan klien mereka melalui pelabuhan lama. Karena di pelabuhan lama ada puluhan kapal kayu dengan kapasitas 100-200 orang. Hingga bisa dipastikan semua terangkut. Bahkan para pemilik travel sudah biasa menyewa 1 kapal khusus untuk tamu-tamu mereka. Padahal suasana di sekitar pelabuhan lama juga jauh dari kenyamanan. Air limbah di sepanjang jalan dan bau ikan yang mnyengat membuat semua calon penumpang kapal terpaksa menutup hidung.
Sepertinya memang masih menjadi PR bersama untuk menciptakan fasilitas publik yang bersih dan nyaman.

Lalu iseng saja aku bertanya, "Bapak punya usaha travel?"
"Dulu saya punya, mbak. Tapi hanya bertahan 2 tahun. Karena ada yang bertentangan dengan hati dan akidah saya, usaha saya tutup," jawabnya.

Naluri ingin tahuku langsung muncul. Lalu kutanyakan lebih detil apa maksud dari jawaban tersebut.
Ternyata, yang dimaksudkan pak Ardi adalah peluang-peluang terjadinya maksiyat dari bisnis pariwisata. Misalnya dia tidak pernah benar-benar bisa mengontrol apakah penginapannya dihuni oleh orang yang berjenis kelamin sama atau tidak. Jika ternyata beda jenis, siapa juga yang menjamin mereka tidak melakukan hal-hal yang melanggar aturan agama. Belum lagi tuntutan melayani konsumen, misalnya si guide yang harus menemani tamu, yang seringkali melanggar waktu shalat.
"Sekarang sudah biasa pas waktu shalat jumat remaja dan para lelaki di Tidung masih di jalan atau di laut menemani tamu. Padahal dulu, kalau ada seorang lelaki yang masih di jalan saat shalat jumat, dia pasti malu. Karena semua orang disini saling mengenal," tambahnya.
Aku langsung takjub. Selama ini aku tidak memikirkan semua itu. Sebagai tamu, ya, aku nikmati saja perjalanan dan fasilitas. Tapi betul juga kekhawatiran yang Pak Ardi rasakan. Sudah selayaknya seorang muslim yang baik memikirkan semua hal itu.

Aku jadi ingat, saat berlibur ke Tidung pertengahan Maret lalu. Saat itu aku juga jengah, dimana-mana ketemu gadis muda bercelana pendek. Bahkan lebih parah lagi, saat snorkeling kelompok kami digabung dengan kelompok lain yang salah satu dari mereka memakai bikini two pieces saat berenang. Aduh..gimana, sih, rasanya. Kalau kamu bersama teman-teman laki-laki dan perempuan, sementara di antaramu ada yang berpakaian seperti itu. Pastinya risih, kan, walaupun mungkin sebagian dari kita akan bilang "Ah, cuek aja. Yang penting, kan, nggak saling ganggu."
Oke, kondisi-kondisi seperti ini memang tidak bisa benar-benar kita hindari. Tapi tidak juga kita biarkan begitu saja, kan?

Aku suka jalan-jalan ke mana saja. Aku suka berenang, snorkeling dan semoga suatu saat bisa diving. Dan biasanya anak-anak akan ngikutin kebiasaan atau kesukaan orangtuanya. Nah, bagiku ini jadi masalah buat anak-anakku nanti. Alangkah kasihannya anak lelakiku jika dia kuajarkan untuk menjaga diri dari melihat aurat perempuan, sementara saat dia berlibur justru 'disuguhi pemandangan' seperti itu. Kalau mau nyari pantai yang 'aman' dimanakah?apakah artinya kami sekeluarga tidak bisa berlibur ke pantai untuk menghindari kondisi itu? Susah, kan?

Aku nggak tahu apakah orangtua lain juga memikirkan hal ini. Namun aku berharap di masa yang akan datang, akan lebih banyak pilihan untuk konsumen. Mungkin akan ada tempat wisata yang lebih 'rapi'...sebgaimana sekarang sudah ada hotel syariah yang punya aturan lebih ketat pada tamu. Dan terbukti bahwa hotel syariah itu tetap punya segmen tertentu.
Kupikir ke depan perlu ada pengembangan tentang tempat wisata syariah yang tentu tetap menyuguhkan hiburan namun dengan 'pagar' nilai-nilai syariah. Tak ada salahnya, kan, berharap..Ini juga bisa menjadi peluang bisnis. Ayo, siapa tertarik membuka biro wisata 'syariah'?

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Lucunya Sofie-ku

pinjam gambar dari duritajam.wed.id
Berawal dari posting status di Facebook mengenai dialog antara aku dan puteriku, Sofie, muncul ide untuk membuat catatan perkembangan dia. Aku berharap, jika nanti Sofie punya adik, aku tidak lupa proses-proses yang dilalui sofie. Terutama berkaitan dengan perkembangan otak dan perilakunya.


Saat ini, Sofie berusia 4,5 tahun. Aku lupa tepatnya sejak kapan dia aktif bertanya ''kenapa dan kenapa." Biasanya pertanyaan itu tak berhenti sampai aku balik bertanya dengan kata-kata, "Menurut Sofie kenapa?" Terkadang malah aku balik bertanya, "Kenapa Sofie begini dan begitu?" Dan, curangnya, dia sering jawab "Enggak tahu" jadi aku gak bisa melanjutkan pertanyaan :)


Sebulan terakhir, Sofie punya sahabat imajiner. Pada suatu malam sebelum tidur dia bilang begini, "Ibu, sofie boleh enggak main sebentar sama teman-teman Sofie?"
"Memang teman-teman Sofie siapa?" tanyaku.
"Ada anak burung dan anak kelinci?"
"Terus, teman-teman Sofie dimna?"
"Di situ.." (menunjuk disampingnya)
"Jadi mau main apa sama teman-temannya Sofie"
"Main loncat-loncat...boleh nggak?"
"Boleh..."
"Yippi....."


Hari lain, 
"Sofie ayo bangun, mau ikut ayah dan ibu ke masjid enggak?"
"Mau...Ibu. Sofie boleh enggak mengajak teman-teman Sofie, anak burung dan anak kelinci?"
" Boleh..."
"Yippi...."


Pas lagi mandi,
"Ibu, tadi teman-teman Sofie, anak burung dan anak kelinci juga sudah mandi."
"Siapa yang memandikan?"
"Ibu burung dan ibu kelinci."


Sudah seminggu terakhir, teman-teman Sofie tidak hanya anak burung dan anak kelinci tapi juga anak jerapah, anak kuda nil, dan anak kanguru.
"Ibu, tadi Sofie berbagi makanan sama teman-teman Sofie, anak jerapah, anak kanguru, anak kuda nil, anak burung dan anak kelinci."
"Wah, hebat. Emang makanannya cukup untuk semua?"
"Cukup."


Sampai saat ini Sofie punya beberapa kosa kata yang mungkin sebetulnya di abelum paham apa arti kata tersebut. tapi dia sudah sering make..Misalnya,
"Ibu, hari ini Sofie memutuskan untuk mencari kupu-kupu"
"Emang memutuskan itu apa artinya fi?"
"Enggak tahu"


Suatu ketika,
"Sofie, ayo mandi. Sudah sore nih."
"Enggak mau, masih mau nonton Franklin."
"Fraklinnya di-stop dulu nanti habis mandi boleh nonton lagi."
"Tapi Sofie jadi bingung..." (lho!)


Hari lain,
"Sofie pipis dulu, yuk. Biar enggak ngompol!"
"Enggak mau. Sofie jadi bingung." 


Kesimpulan sementara: "Jadi bingung" bagi Sofie berarti "Tidak mau."


Terus dia juga suka kebalik-balik kalau ngomong. Misalnya, nih, pagi ini,
"Hahaha...lucu," kata Sofie
"Apanya yang lucu fi?" tanyaku
"Sofie lucu soalnya kekenyangan.."
"Jadi maksudnya Sofie gak mau makan karena sudah kenyang?"
"Enggak Sofie mau makan..lapar."
"Jadi sebenarnya Sofie lapar apa kenyang?"
"Lapar mau makan.."
"Nah, Sofie jangan kebalik ngomongnya. Kalau mau makan itu lapar. Tapi kalau sudah habis makan itu namanya kenyang."


Satu lagi yang lucu. Beberapa saat yang lalu aku kasih tahu bahwa ada namanya kucing garong yang warnanya item. Lalu suatu ketika entah kenapa tahu-tahu dia bilang, 
"Ibu ada kucing garem."
"Apa fi? kucing garong?"
"Kucing garem."
"Jadi kucing garong apa kucing garem?"
"Kucing garem...." (hehe dia bersikukuh bahwa bukan kucing garong tapi kucing garem)


Sofie-sofie ada-ada saja ^_^







  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Sofie 3-4,5 tahun














  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Sofie 1-3 tahun










mo

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Peta Hijau: Panduan Liburan yang Ramah Lingkungan


Libur telah tiba...para anak sekolah, guru dan orangtua pasti sudah sibuk menyususn rencana liburan. Bagi yang di Jakarta, silakan simak tulisan ini. Untuk teman yang sudah pernah membaca, mohon maaf, ini memang tulisan lama di multiply (dan sudah di Ummi) yang aku posting kembali...
foto pinjam dari sini:cintastasiunjakarta.wordpress
Musim liburan adalah saat yang ditunggu-tunggu 
oleh keluarga. Momen penting ini biasa 
dimanfaatkan dengan mengadakan kegiatan keluarga yang menyenangkan. Sebagian keluarga memilih mudik ke luar kota Jakarta, entah itu berlibur di rumah nenek, mengunjungi sepupu di kampung, maupun mendatangi kota wisata yang terkenal indah, Bali misalnya. Namun bagi yang memilih berlibur di Jakarta, tidak perlu khawatir. Selain ada banyak lokasi wisata yang menarik, sejak Maret 2009 telah hadir PETA HIJAU (Green Map) yang berisi informasi tempat yang memiliki makna terhadap lingkungan, budaya, dan interaksi masyarakat.

Proyek bersama untuk peduli lingkungan sekitar

Peta hijau merupakan proyek bersama yang digagas oleh komunitas lokal yang bertugas memetakan potensi alam dan budaya suatu kawasan. Komunitas peta hijau (green map) di Indonesia dirintis sejak tahun 2001 dan diresmikan dalam Pertemuan Nasional Green Map Indonesia pada tanggal 6-8 Januari 2006 di Yogyakarta. Peta Hijau saat ini telah memiliki komunitas-komunitas dan berbagai kegiatan yang tersebar di berbagai wilayah, mulai dari Yogyakarta, Bandung, Buton, Malang, hingga Surabaya dan Medan. Masing-masing komunitas menerbitkan peta hijau di wilayahnya masing-masing.

“Tujuan sebenarnya dari pembuatan peta hijau ini adalah kita melakukan pendidikan pada masyarakat untuk hidup berkelanjutan,” ucap Nirwono Joga, koordinator peta hijau Jakarta. Maksudnya adalah untuk membantu masyarakat melihat, menilai, menghubungkan, serta peduli terhadap lingkungan tempat mereka berada. Juga untuk perubahan hidup yang lebih baik, lebih ramah lingkungan dan lebih sehat. Selama ini, jika mau berlibur yang ada dalam bayangan kita adalah pergi ke mall, nonton bioskop atau makan-makan di restoran cepat saji. Sebagian lagi berlibur artinya pergi ke laut, gunung, atau tempat wisata yang banyak mainannya.
Bermain dengan burung di Taman Suropati
Peta hijau, mengajarkan cara pandang baru. Bahwa berwisata tidak melulu dengan pergi ke gunung atau laut. “Namun, kita bisa mengunjungi tempat pengelolaan limbah di waduk Setiabudi, misalnya,” ujar Yudi (nama panggilan dari Nirwono Joga). Di tempat pengelolaan limbah/sampah itu, para pengunjung akan melihat bagaimana proses pengumpulan sampah dan bagaimana mengelola sampah-sampah tersebut. Dengan demikian, tidak hanya liburan yang kita dapatkan, namun juga ilmu, pengalaman dan harapannya ada kesadaran baru untuk terlibat dalam pengelolaan sampah. Agar kita tidak sembarangan lagi buang sampah. Dan agar kita terdorong untuk membantu mengelola sampah. Dengan demikian, efek jangka panjang dari pembuatan peta hijau ini, diharapkan ada perubahan gaya hidup, menjadi hidup yang lebih baik lagi.

Banyak yang tidak tahu
Sayangnya, hingga saat ini masih banyak warga yang tidak kenal peta hijau.
“Peta hijau, kok aku belum pernah denger ya. Soalnya aku jarang jalan sih,” ujar Salma (26 th), seorang karyawan swasta yang diwawancarai Ummi soal peta hijau.
“Awalnya aku tuh juga enggak tahu soal peta hijau, terus diajakin temen ikut milisnya. Eh setelah ikut kegiatannya ternyata asik banget, sudah hampir setahun aku gabung di komunitas peta hijau,” papar Cici (23 th), aktivis peta hijau jakarta.
Demikian juga yang diungkapkan oleh Iqbal (28 th), wartawan salah satu media massa. “Dulunya aku juga gak tau soal peta hijau, nah pas aku dapat tugas liputan, sekalian aja aku ikut tournya. Ternyata asik, setelah itu aku ikut jadi relawan pembuatan peta hijau yang kelima dan rutin ikut acaranya.”
Walaupun belum banyak yang tahu tentang peta jakarta, rata-rata menyatakan sangat senang jika sudah mendapatkan peta hijau jakarta atau mengikuti tour yang diadakah komunitas peta hijau. Tidak hanya orang dewasa yang merasa puas, anak-anakpun merasakannya. 
“Seneng kalo ikut tour kayak gini, soalnya bisa dapet pengalaman baru. Bisa jalan-jalan, seru deh pokoknya. Kalo ke tempat wisata kan serunya karena ada mainan-mainannya tapi kalo tour peta hijau serunya beda,” kata Dhanes (10 th), peserta tour peta hijau dan WWF pada hari Sabtu, 4 Juli 2009.
siasana di Bundaran HI saat 'free car day'
Peta hijau sendiri memang sudah ada sejak tahun 2001, namun awalnya masih mencakup wilayah-wilayah tertentu, seperti Kemang, Kebayoran baru, Menteng, dan 

Kota Tua. “Peta hijau yang tahun 2009 ini berbeda dengan peta-peta hijau terdahulu. Kalo peta-peta hijau dahulu lebih pada pemetaan lokasi-lokasi hijau per kawasan. Nah, kalo yang ini kita menggambarkan seluruh Jakarta berbasis transportasi masal tadi, intinya kita mendorong untuk mengeksplore wilayah-wilayah hijau di Jakarta dengan meninggalkan kendaraan pribadi dan motor,” papar Yudi.
 Tanpa kendaan pribadi? Ya benar. Para pengguna peta hijau dihimbau untuk mengunakan kendaraan publik saat mengunjungi lokasi. Jalur yang dapat dijadikan panduan dalam peta hijau ini ada tiga, yaitu jalur kereta yang berwarna merah, jalur busway berwarna biru dan jalur sepeda garis titik-tik berwarna orange. Artinya, kita didorong untuk memanfaatkan transportasi publik dan meninggalkan kendaraan pribadi. Bisa juga dengan membawa motor atau mobil pribadi, lalu di titip di terminal atau stasiun. Jika ingin terasa lebih nyaman dan terasa nuansa family-nya, bisa juga dengan bersepeda rame-rame satu keluarga.

Menikmati Jakarta Bersama Peta hijau
Peta hijau Jakarta berisi informasi mengenai sejumlah tempat di Jakarta yang layak di kunjungi. Ada sekitar 100 tempat yang mencakup kawasan kampung tradisional, museum, tempat pertunjukan kesenian, tempat pendidikan lingkungan alam, kampung hijau, tempat pembuatan kompos, pusat kerajinan daur ulang sampah anorganik, tempat memperoleh bibit pohon, makanan organik yang sehat, wisata kuliner tradisional, tempat pengamatan burung, bangunan bersejarah, dan lain-lain.
Beberapa lokasi menarik peta hijau, di antaranya, Taman Suropati, yang merupakan taman kota terbaik di Indonesia. Lokasinya berada di Menteng Jakarta Pusat. Ada juga Kampung Hijau yang sudah ada beberapa tempat di Jakarta. Tidak ketinggalan Taman Medan Merdeka, Taman Menteng, Kota Tua Jakarta, Musium Taman Prasasti, Kebun Binatang Ragunan, bahkan Makam (TPU) Menteng Pulo. Itu hanya beberapa contoh lokasi peta hijau yang sangat menarik untuk dikunjungi.
Tidak hanya tempat-tempat wisata yang masuk dalam peta hijau, namun ada juga Taman kota Tangkuban Perahu, tempat daur ulang plastik, daur ulang kertas juga rumah hijau yang unik dan inspiratif. Peta Hijau ini tidak hanya ada di Jakarta, namun kota-kota lain di Indonesia juga tersedia. Di antaranya, Aceh, Bandung, Bogor, Borobudur, Bukittinggi, Buton, Makassar, Malang, Medan, Sanur, Solo, Surabaya, Yogyakarta, dan Ternate.
Dimana bisa mendapatkan peta hijau? Di Jakarta, peta hijau di jual seharga Rp. 15 ribu di toko buku Aksara. Namun, jika tidak mau susah-susah pergi ke toko buku, anda juga bisa mengunduhnya dihttp://greenmap.or.id/.

Selamat berwisata bersama Peta Hijau. (Aini)


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Menggampai Mimpi: Semeru




Mendaki Semeru, mimpi para pendaki. Gunung tertinggi di Jawa ini memiliki daya tarik yang luar biasa. Aku kesana 17-20 Mei 2012. Dari Jogja aku naik kereta bersama suami (Sigit) dan 1 teman, Abdi. Sampai Malang, jam 8 pagi dan langsung bergabung dengan 30-an teman dari Jakarta. Wow..ramai..

minjem foto koleksi Anggi
Dari stasiun kami menyewa angkot menuju Tumpang. Dari Tumpang kami 'ngantri' menunggu jatah naik jip. Satu jip normalnya berisi dibawah 10 orang, biar bisa duduk dg nyaman. Tapi, saat ramai pendakian, jip biasa diisi sampai 17 orang. Perjalanan cukup menegangkan, kondisi jalan tidak rata, sebagian memiliki kemiringan hingga 60 derajat, sementara kanan dan kiri, jurang. Namun pemandangannya sungguh luar biasa. Bukit yg dikenal sebagai teletubis berdampingan dengan bromo.

suasana di basecamp Ranu Pani
Kira-kira jam 16.45, sampailah kami di Ranupani. Basecamp pertama, dimana masih kita jumpai rumah penduduk. Ada danau luas di sini tapi kurang bersih dan tak terawat. Disini juga ada 2 kamar mandi yang atriannya lumayan panjang. Kalau pagi ada penjual soto dan bakso. Disini kami melakukan cek terakhir, ngepak ulang barang-barang biar lebih praktis. Barang yang kira-kira akan dibutuhkan dipindah ke bagian atas carier, makanan dan minuman diletakkan di tempat yang terjangkau. Dan tentu saja senjata utama di malam hari yakni headlamp langsung dipasang di kepala.
Dan tepat pukul 17.30 pendakian dimulai. Kami berjalan dan terus berjalan berjam-jam, terbagi dalam beberapa kelompok. Terengah-engah, istirahat, minum, makan coklat & cemilan, jalan lagi. Tiba di pos 1, 2, 3 dan akhirnya sampai di Ranu Kumbolo saat tengah malam. Tenda2 telah dipasang oleh tim yang datang duluan. Brrr....dinginnya jangan ditanya. Megang api sepertinya tak terasa panas. Setelah shalat dan minum hangat, aku ambil sleeping bag dan tidur.

Pagi di Rakum
Rasanya baru sebentar tidur , eh sudah pagi. Danau Ranu Kumbolo (rakum) diselimuti kabut putih. Dingin banget. Di sana sini para pendaki berjaket tebal, menenteng kamera dan jepret sana sini. Inilah bedanya pendaki saat ini dengan masa lalu. Dulu hanya 1-2 orang yg punya kamera. Sekarang, dalam satu tim bisa jadi ada 80% diantaranya memiliki kamera.  
Lalu di-gelarlah beraneka makanan. Yang agak 'tradisional' memasak nasi goreng dan mie. Yang lebih modern, masak makaroni, bubur ayam, manggang roti bahkan bikin pancake saus strawbery. Wow..yummy..

Mandi pagi? Siapa yang berani..Tapi jangan salah kira ya. Meski tidak mandi tak ada yang bau kok. Sepertinya hawa dingin melenyapkan bau-bau keringat kami. Di rakum kami menikmati pagi yang indah. Matahari yang pelan-pelan naik, pohon-pohon yang makin jelas terlihat dan danau yang tampak lebih jernih. Saat hari makin siang ada juga sekelompok pendaki yang nyemplung berenang. Ada pula yang memanfaatkan kasur udara sebagai perahu dan berlayar di danau. Macam-macam deh...


Melihat Rakum dari tanjakan cinta
   Hari makin siang dan kami bersiap melanjutkan perjalanan. Dari rakum kami menuju pos ranu kumbolo sebenarnya. Lho..Jadi ternyata tempat kami menginap semalam bukan pos rakum sebenarnya. Kami baru menemui tempat ini setelah menyusuri satu bukit..  
Yang menjadi ciri pos rakum 'asli' yakni bangunan yang bisa dimanfaatkan untuk berteduh. Kami berhenti sebentar untuk foto-foto dan bersiap mendaki tanjakan cinta. Kalian pasti bertanya, kenapa disebut tanjakan cinta?Konon, kalau melewati tanjakan ini sambil membayangkan wajah seseorang dan tidak menoleh-noleh ke belakang hingga kita berhasil melalui tanjakan ini, maka orang yang kita bayangkan itu akan menjadi pendamping hidup kita. Benarkah legenda itu? Silakan coba untuk membuktikannya. Aku, sih, tidak tertarik. Karena orang yang aku harapkan sudah ada disampingku. hehe...


Dari tanjakan cinta kami menuju oro-oro ombo atau padang savana yang luas. Seperti di Afrika, kah? Mungkin, karena aku belum pernah ke sana ^_^ Di sini terdapat rumput-rumput pendek dan bunga-bunga lavender ungu. Perjalanan relatif mudah karena datar. 
Lalu kami melanjutkan perjalanan ke hutan cemoro kandang. Dari sini perjalanan agak membosankan, 'hanya' melihat pohon-pohon. Sebagian dari pohon tersebut menghitam karena terbakar. Kami terus berjalan. Tepat pukul 17 dalam rintik hujan, kami sampai di kalimati atau basecamp 'terakhir' sebelum puncak Mahameru. 
Alhamdulillah, rasanya tak percaya aku bisa menjejak tanah disini. Sujud tanda syukur kulakukan bersama shalat ashar yang dijamak ta'khir bersama dzuhur. Saat teman-teman rapat mempersiapkan summit attack (muncak), kusampaikan pada mereka bahwa kami (aku dan mas Sigit) tak ikut ke puncak. Banyak yang heran, kenapa? Entahlah, sejak awal berangkat aku merasa tidak ingin ke puncak. Salah satu alasannya pesan ibu untuk menuruti peraturan dari 
badan meteorologi yang melarang pendaki 
ke puncak. Alasan lain, aku merasa harus tau diri. Mahameru tidak seperti puncak gunung lain. sebelum menuju ke sana kita harus melalui lautan pasir yang siap "menenggelamkan" kaki. Sampai-sampai ada guyonan sesama pendaki bahwa untuk mencapai Mahameru kita harus bersiap dengan formasi 3-5 yang artinya 3 langkah maju dan 5 langkah mundur (karena terperosok pasir) . Jadi malam ini aq memilih tidur di tenda. Sungguh nyaman dan nyenyak tidurku malam ini. Karena tenda terasa lapang..hehe
Bubur Ayam "Kalimati"



Paginya, kami dan 3 teman (Ali, Ariel dan Nena) yang tak ikut muncak menyiapkan sarapan untuk teman-teman. Masak nasi, goreng ayam, nuget, dll. Lalu satu persatu teman turun. Mungkin hanya ada setengah dari tim kami yang sampai ke puncak. Rata-rata turun lagi karena kehabisan minuman dan khawatir kena asap panas yang mengalir ke arah pendaki setelah jam 9 pagi. Terbukti bahwa Mahameru memang tidak mudah ditaklukkan.
Seharian aku menikmati pemandangan, foto-foto dan bersiap turun di sore hari. Dari Kalimati ke rakum dapat kami capai dengan waktu setengah kali lebih cepat dibanding kemarin. Lalu sempat masak-masak & makan di rakum. 
Jam 11-an malam kami lanjutkan perjalanan dengan mengambil jalur Ayek-ayek. Beberapa pendaki menyatakan bahwa jalur ini rintisan Soe Hoek Gie bertahun-tahun yang lalu. Namun jarang yang melewati karena tidak banyak yang tahu. Kami memutuskan mengambil jalan ini karena katanya (entah kata siapa) lebih cepat sampai ke ranu pani meski medannya lebih berat. 
Namun, apa yang terjadi? Masya Allah, sungguh tak terduga. Jalur ini ternyata berat luar biasa. Hampir 7 jam kami nyaris tak bisa istirahat karena jalur yang terus menanjak. Sama sekali tak ada tempat datar sekedar untuk duduk atau merebahkan diri. Rasanya aku pingin nyerah. Berkali-kali muncul godaan untuk mengeluh "Coba ya kalau tadi lewat jalur biasa aja. Paling 3-5 jam dah sampai Ranu Pani dan bisa istirahat". 


Tapi beginilah hidup. Ada keputusan-keputusan yang sudah diambil dan kita harus siap dengan konsekuensinya. Jadi walau capek luar biasa, ngantuk karena tak tidur semalaman, nyaris putus asa karena jalan yang seakan tak berujung, tidak ada pilihan lain selain terus berjalan. 
Sayangnya, saking capeknya, aku jadi tak bisa menikmati perjalanan. Padahal langitnya luar biasa indah. Bintang jatuh berkali-kali melintas. Dan kami seperti di atas awan saking tingginya. 
Danau Ranu Pani dilihat dari jalur ayek2
Aku pikir-pikir sepertinya jalur ini tak kalah tinggi dengan puncak mahameru. Dan...setelah berkali-kali 'kecewa' karena serasa tak sampai-sampai :) akhirnya...jam 7 pagi sampai juga di ranu pani. Jangan tanya rasanya kayak apa. Tapi sebenarnya aku merasa lebih capek di hati. Dan baru sekarang aku menyesalinya. Coba kalau di bawa happy mungkin cuma capek di kaki. 
Lalu kami makan, minum, mandi dan bersiap pulang. Aku dan mas sigit naik bis -bareng rombongan Semarang- dari terminal Arjosari-Surabaya dan lanjut Surabaya-Magelang. Kami sudah seperti orang mabuk. Duduk langsung zzzz (tidur pulas). Cuma bangun sebentar untuk bayar tiket lansung tidur lagi. Kami juga bangun saat di rumah makan, makan, minum dan langsung tidur lagi. Sampai Magelang jam 9 malam. Bahkan setelah di rumah-pun aku kembali melanjutkan tidur... ^_^

Note.
Terimakasih buat all team expecially tim ruku'

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Pak Dahlan


(Saat membuat tulisan ini, aku tinggal bersama kakakku, di Bantul Yogyakarta. Saat itu beberapa bulan setelah gempa Jogja berlalu)


Aku punya tetangga, rumahnya di dekat gang rumah mbakku. Suamiistri, bernama Pak Dahlan dan Mbak Is. Mereka punya 2 orang anak, si sulung 5 tahun, dan si bungsu bayi 3 bulan. Pak Dahlan bekerja sebagai montir. "Kantornya" berupa bengkel sederhana di depan rumahnya. Sedangkan Mbak Is, bekerja sebagai penjahit.


Pas musibah gempa kemarin rumah mereka hancur. Alhamdulillahnya nggak sampai rubuh.
Walau begitu semua genteng melorot dan kayu-kayu di atap jatuh. Hingga rumah mereka tetap berdinding dengan beratap langit. Y
ang luar biasa adalah cara mereka memandang kehidupan


Setelah gempa berlalu, Pak Dahlan sama sekali tidak termasuk orang yang antri meminta bantuan. Saat kutanya alasannya, dia menjawab bahwa seorang muslim tidak boleh meminta-minta ke orang lain. "Tangan yang di atas lebih baik dari tangan yang dibawah," katanya.

Selama menjadi penjahit, Mbak Is, memilih selektif dalam menerima jahitan. Dia ‘menolak’ menjahitkan baju mini atau ketat yang kira-kira bisa menimbulkan syahwat. Alasannya, ia takut ikutan berdosa karena menjahitkan baju untuk berbuat maksiyat.

10 hari setelah gempa, mbakku datang ke rumah Pak Dahlan.
Di rumah mereka tidak ada makanan. Hanya ada nasi dan singkong rebus yang dicampur gula merah. Mbakku menawarkan bantuan sembako. Namun apa jawaban mereka?
"Coba berikan dulu ke orang lain, siapa tau ada yang lebih membutuhkan."

Masya Allah…mulia sekali hati mereka. Walaupun akhirnya, setelah dipaksa-paksa mereka mau menerima bantuan yang tidak seberapa itu.


Subhanallah…Hari gini…masih ada orang yang seperti itu. Mereka tegar menghadapi segala kesulitan hidup. Mereka yakin sepenuhnya akan pertolongan Nya. dan mereka sangat itsar (mendahulukan kepentingan orang lain). 


Seminggu-an setelah gempa mbak Is melahirkan anak keduanya. Biar tidak menghabiskan banyak uang, sehabis melahirkan mereka memaksa diri pulang dari rumah sakit. Tiga hari setelah melahirkan, mbak Is sudah mencuci baju-bajunya sendiri, karena ada tetangga yang meminta tolong Pak Dahlan untuk membangun rumah yang rubuh karena gempa.
Semoga tetap istiqomah.

Salut buat keluarga pak Dahlan. Semoga anak-anak kalian tumbuh jadi anak-anak yang cerdas dan memberikan kontribusi yang besar pada umat. Para pemimpin negeri ini harus belajar pada kalian. Biar Indonesia nggak ngutang melulu…



Arsip dari blog lama, "Mahameru", 14 September 2006

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Bahagiakah Kamu?


Aku pernah bertanya pada seorang teman, “Apakah kamu bahagia?”
Dia menjawab, “Aku bahagia.”


Lalu kutanya lagi, “Apa yang membuatmu yakin bahwa kamu bahagia?”
Dia menjawab, “Aku bahagia karena masih hidup, punya teman-teman yang baik dan lingkungan kerja yang menyenangkan.”

Lalu kutanya lagi, “Apakah arti kebahagiaan bagimu? Apakah jika kamu tertawa itu berarti kamu bahagia?”
Jawabnya, “Salah satu indikasi aku bahagia memang ketika aku tertawa, walaupun tertawa tidak selalu menjadi pertanda bahwa seseorang itu bahagia.”



Aku bertanya pada teman yang lain, “Kamu bahagia?”
Dia menjawab, “Aku bahagia walaupun apa yang kuinginkan belum kudapat.”



Dan aku menanyakan pertanyaan itu ke beberapa teman,
Ternyata jawabannya beragam,

Ada yang menjawan begini:“Bahagia dong, kan, aku punya keluarga yang baik, teman-teman yang setia dan hidup yang menyenangkan..”


Ada lagi yang balik bertanya: ” Kamu lagi nggak bahagia ya Ain, kok, tanya-tanya soal bahagia….?”


Sebagian menjawab begini:
” Aku bahagia, karena kamu tanya apakah aku bahagia..”
“Aku bahagia karena bisa melihat langit biru dan awan putih yang begitu indah….”
“Aku bahagia karena akhirnya aku menikah dengan orang yang kucintai…”
“Aku bahagia karena memang aku ingin selalu bahagia….”


Suatu ketika, karena terinspirasi dari nonton sebuah film, aku sms ke seorang temen:
“Kebahagiaan menjadi sesuatu yang murah bagi anak kecil, tapi kenapa saat kita tidak kecil lagi, kebahagiaan itu sepertinya jadi mahal”
Dia menjawab,
“Kita sering kerdil memandang sesuatu. Hingga kebahagiaan hanya kita maknai dari hal yang bersifat materi, padahal bahagia milik siapa aja….



Aku lalu ingat salah satu tulisan Miranda Risang Ayu,
Suatu ketika, dia dan putri kecilnya sedang duduk berdua. Si kecil yang saat itu duduk di pangkuanya bertanya:
“Ibu, kasih sayang itu gimana ya?” 

Miranda menjawab: ”Kamu pernah nggak merasa menyayangi atau disayangi seseorang? atau sekarang kamu sedang merasa disayang nggak?”
“Iya sih, aku sayang ibu. Tapi kok kasih sayang itu nggak terasa ya?”
Sambil memeluk putrinya, Miranda berkata: “Ya begitulah sayang, kita sering (baru) merasakan sesuatu jika sesuatu itu sudah hilang…” 

Di akhir tulisannya, Miranda menulis begini: dan kehilangan kasih sayang sungguh tidak perlu ada contohnya.


Aku jadi berpikir,
jangan-jangan kebahagiaan juga begitu.
kita baru merasa sesuatu itu membahagiakan ketika sesuatu itu telah hilang dalam hidup kita. Bener nggak ya?

……………………………………


Arsip dari blog lamaku "Mahameru", 23 Agustus 2006

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Menjadi Muda


beberapa waktu yang lalu keponakanku (umurnya 3 tahun) bertanya,
“Amah, Allah itu laki-laki atau perempuan?”
lalu kujawab,
“Allah itu bukan laki-laki dan bukan perempuan…”

dia terlihat bingung
“Lha laki-laki apa perempuan..”
kujawab lagi,
“Ya bukan laki-laki dan bukan perempuan…”

dia terlihat kesal,
dan sambil menghentakkan kaki, dia tanya lagi:
“Lha tapi laki-laki atau perempuan..”

aku tersenyum,
lalu kutarik dia ke pangkuanku, dan kubisikkan kata-kata,
“Na, Allah itu yang menciptakan kita..”
“karena Dia yang menciptakan kita, jadi Dia tidak seperti kita..”

he he he…
sebenarnya obrolan itu masih berlanjut,
tapi bukan obrolan itu yang ingin kutuliskan di sini,
aku hanya ingin bilang bahwa pertanyaan Husna itu membuat aku semakin suka dengan anak-anak,
karena mereka polos, jujur, berani dan bersih…

dan lagi-lagi aku teringat salah satu tulisan Miranda,
judulnya “Menjadi Muda”
dalam tulisan itu Miranda bilang,
bahwa ciri dari ke-muda-an bukanlah umur,
apalagi tampang,
namun hasrat untuk selalu bertanya dan keberanian mencari jawaban…

dan itu juga yang membuatku begitu bahagia,
mendengar Husna bertanya tentang Allah,
dan pertanyaan itu dihadirkan dihadapanku..

mungkin jawaban yang kuberikan padanya belum tepat,
namun semoga itu menjadi awal bagi dia
untuk terus menerus bertanya,

dan itu membuatku bersemangat,
untuk tidak pernah berhenti bertanya,
biar awet muda gitu loh…
he he he………..



Arsip Blog lama-ku di Frienster, "Mahameru", 31 Agustus 2006

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Total Tayangan Halaman

Cari Blog Ini