Serombongan
turis turun dari sebuah bis pariwisata. Mereka menyeberang jalan dan
memasuki gerbang beratap alang-alang. Seusai mengisi buku tamu,
beberapa pemuda Sasak menyambut mereka. Rombongan besar itu lalu
terpecah menjadi beberapa kelompok kecil dengan guide
masing-masing. Lalu sang
guide memandu mereka mengelilingi dusun seluas lima hektar.
Tak
hanya wisatawan mancanegara (wisman) yang tertarik mengunjungi suku
Sasak di dusun Sade, Rembitan, Pujut, Lombok Tengah ini. Para
wisatawan domestik tak mau ketinggalan. Setiap bulan rata-rata 3000
turis datang ke sini. “Saya menemukan banyak hal unik di Sade.
Bentuk rumahnya, adat istiadatnya, pernak pernik (gelang, kalung,
mainan anak) dan baju khas yang semuanya hand made (buatan
tangan, red). Selain itu menurut informasi yang saya baca, di
Lombok ini hanya tinggal 3 desa adat, salah satunya Sade,” ujar
Latif, salah seorang pengunjung.
Kurdap
Selake, ketua pengemban adat (juru keliang) sekaligus kepala
dusun Sade, membenarkan ucapan Latif. Menurutnya, dahulu semua desa
di Lombok memiliki arsitektur seperti di Sade. Namun seiring
perkembangan zaman, bentuk fisik desa adat nyaris musnah.
Beruntung,
Sade tidak termasuk desa yang tergerus perkembangan zaman.
“Sebenarnya dusun ini sudah menjadi tujuan pariwisata sejak jaman
Belanda. Namun pemerintah sendiri baru meresmikannya pada 1985,”
tambah suami Merti Sari ini.
Bentuk
rumah yang masih tradisional, dengan dinding dan tiang yang terbuat
dari bambu, menjadi daya pikat bagi para wisatawan. Atap rumahnya
dari rumput alang-alang yang dianyam dan dijemur kering. Terlihat
rapuh, namun aman dari panas dan hujan serta mampu bertahan 7-8
tahun. Suku Sasak Sade memiliki teknik khusus saat membuat lantai,
yakni mencampur tanah liat dan kotoran kerbau. Mereka yakin dengan
metode ini lantai menjadi kuat dan tahan lama. Tak cukup itu, untuk
menghindarkan diri dari serangan nyamuk, setiap seminggu sekali
lantai rumah kembali diguyur dengan air kotoran kerbau.
Perempuan
Sasak
Saat
mengelilingi dusun, saya menemui perempuan Sasak yang sedang mengunyah sirih sambil bekerja.
Usianya tak lagi muda, namun dia tetap bersemangat. Tangan kanannya
menggerakkan alat berbentuk seperti kincir angin dan tangan kiri
memegang kapas. Dari alat sederhana tersebut dia membuat benang.
Sayang si ibu tak bisa berbahasa Indonesia. Jadi dia hanya tersenyum
menjawab pertanyaan saya.
Di
bagian lain dusun ini terlihat perempuan yang tengah konsentrasi
menenun. Tangannya lincah menarik alat yang berbuyi ter..ter..ter ke
atas dan ke bawah. Melalui Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) ini dia
membuat kain songket indah khas Lombok.
Rata-rata
perempuan Sasak menghabiskan waktu satu bulan untuk membuat satu
lembar kain songket. Tak heran kain ini dihargai ratusan ribu rupiah
selembarnya. Selain itu, mereka juga membuat selendang, syal, dan
taplak meja. Semua produk tersebut dibuat dengan alat sederhana yang
terbuat dari kayu atau bambu. “Kami membuat sendiri alatnya,”
ucap Inak Tapa, penenun Sade.
Meski demikian para perempuan itu mengaku menenun hanya profesi
sampingan. Profesi utama mereka mengurus rumah dan membantu para
lelaki bertani. Semua perempuan Sasak bisa menenun sejak usia 7-10
tahun. Bahkan menurut Inak Tapa perempuan Sasak dilarang menikah jika
belum bisa menenun.
Industri
tenun di Sade dikelola secara modern oleh koperasi. Caranya, semua
kain tenun hasil produksi dikumpulkan di koperasi, lalu masyarakat
menjual kembali kain tersebut. Koperasi juga menetapkan standar
hingga tak ada persaingan harga yang mencolok antar pedagang.
Adat
Pernikahan yang Unik
Bagi laki-laki
cukup umur yang ingin menikah, mereka tak perlu mendatangai keluarga
pihak perempuan. Tapi cukup dengan menculik calon pengantin perempuan
! “Adat disini tabu mengambil anak gadis di depan orangtuanya.
Namun sehari setelahnya kami punya adat nelaba/rebak poco. Yaitu
keluarga calon pengantin laki-laki memberikan kabar pada
keluarga perempuan bahwa anak perempuan mereka sudah diculik,”
tambah Kurdap.
Lalu berapa lama jarak
'penculikan' menuju pernikahan? Menurut ayah tiga anak ini, jeda
waktunya bervariasi, antara 3 hari sampai beberapa bulan. Seharusnya
setelah rebak poco pihak perempuan mengirimkan wali nikah sang
gadis. Namun beberapa keluarga perempuan mensyaratkan uang 'ganti'
wali nikah. Negosiasi mengenai hal ini yang biasanya memperlambat
akad nikah.
Meski calon pengantin
perempuan sudah diculik, bukan berarti dia ditempatkan satu rumah
dengan calon pengantin laki-laki. Secara adat, sang gadis telah
'diambil' keluarga laki-laki untuk dijaga baik-baik. Umumnya penduduk
Sasak menganut paham endogami atau menikah hanya dengan sesama suku
Sasak.
Belajar Kerifan dari
Suku Sasak
Meski kental
dengan berbagai adat, semua penduduk Sasak Sade beragama Islam.
Kurdap meyakini sejak dahulu leluhur mereka beragama Islam. Hanya
saja keislaman mereka belum sempurna.“Para pendahulu kami
menjalankan Islam Wetu Telu. Yaitu hanya kiai yang wajib menjalankan
ibadah seperti shalat dan puasa. Sedang masyarakat umum tidak
menjalankannya,” ulas lelaki berusia 42 tahun ini. Baru pada
1964-1965, mereka dapat pembinaan dari pemerintah hingga hingga makin
banyak penduduk tercerhkan dan menjalankan lima rukun Islam.
Mushola di dusun Sade
menjadi satu-satunya bangunan yang berbeda. Dinding dan atapnya sama
dengan rumah yang lain, namun lantainya terbuat dari keramik. Tempat
wudhunya terbuat dari gentong besar. Seperti umumnya mushola, di
dalamnya terdapat mimbar, mikrofon
dan speaker.
Namun mereka masih
mempertahankan budaya gotong royong. Saat rumah salah seorang
penduduk mengalami kerusakan, para tetangga dengan sukarela
memperbaiki. Mulai dari menganyam alang-alang untuk atap, menaikkan
atap, mengganti dinding, semua dilakukan bersama.
Anak muda di dusun
Sade tak tertarik bekerja di kota besar. Dusun Sade sudah menyediakan
lahan pekerjaan untuk mereka, yakni sebagai guide para tamu.
Ada 35 guide dengan jadwal kerja yang telah disusun rapi. Dusun
mengalokasikan dana khusus untuk menggaji mereka.
Dusun Sade
mengandalkan dana dari Dinas Pariwisata untuk mengelola daerahnya.
Karena itu pengunjung tak dikenai biaya sepeser-pun. Pengelola hanya
meletakkan kotak donasi di pintu masuk. Dana donasi itu dimanfaatkan
untuk kepentingan sosial, seperti pembangunan masjid, santunan untuk
warga yang sakit atau meninggal dunia dan bantuan pendidikan. Semua
dana (baik dana bantuan maupun donasi) dikelola dengan transparan.
Laporan pertanggung jawaban dilakukan setiap tahun.
Sistem pengelolaan
dusun ini menunjukkan bahwa masyarakat Sasak memiliki jatidiri yang
kuat. Mereka mampu mengkombinasikan modernisasi dengan nilai-nilai
lokal yang mereka yakini kebenarannya. Berkebalikan dengan kebanyakan
masyarakat kota yang justru sering ikut arus dan nyaris tak mengenali
dirinya sendiri. Jadi, mengapa tidak kita belajar kearifan dari
mereka?
Aini
Firdaus-dimuat di Majalah Ummi edisi September 2010
1 komentar:
Syukur Alhamdulillah di tahun ini Saya mendapatkan Rezeki yg berlimpah sebab sudah hampir 9 Tahun Saya bekerja di (SINGAPORE) tdk pernah menikmati hasil jeripaya saya karna Hutang keluarga Sangatlah banyak namun Akhirnya, saya bisa terlepas dari masalah Hutang Baik di bank maupun sama Majikan saya di Tahun yg penuh berkah ini,
Dan sekarang saya bisa pulang ke Indonesia dgn membawakan Modal buat Keluarga supaya usaha kami bisa di lanjutkan lagi,dan tak lupa saya ucapkan Terimah kasih banyak kepada MBAH SURYO karna Beliaulah yg tlah memberikan bantuan kepada kami melalui bantuan Nomor Togel jadi sayapun berhasil menang di pemasangan Nomor di SINGAPORE dan menang banyak
Jadi,Bagi Teman yg ada di group ini yg mempunyai masalah silahkan minta bantuan Sama MBAH SURYO dgn cara tlp di Nomor ;082-342-997-888 percaya ataupun tdk itu tergantung sama anda Namun inilah kisa nyata saya
Posting Komentar