Bali dan Hindu seperti
dua sisi mata uang. Keduanya nyaris tak terpisahkan. Namun ada yang
berbeda di salah satu desa pinggiran kota wisata itu. Di sana tak ada
perempuan berbaju adat dengan bunga kamboja kecil terselip di
telinganya. Yang ada justru para remaja berjilbab yang tengah
berangkat ke sekolah.
foto dari pegayamanvillage.blogspot |
Seperti
bukan Bali! Demikian komentar beberapa orang yang sempat mengunjungi
Kampung Pegayaman, Sukasada, Buleleng, Bali Utara. Saat memasuki
kampung, pengunjung akan 'disambut' dengan mushola mungil di pinggir
sungai. Terhampar sajadah yang menandakan tempat itu kerap dipakai
beribadah. Nuansa keislaman makin kuat terasa saat kita melihat
kompleks sekolah muslim. Dari tingkat TK hingga SMA tersedia di
sana.
Namun,
saat mendengar warga berbicara dengan bahasa Bali akan mengingatkan
pengunjung bahwa mereka masih berada di wilayah Pulau Dewata.
Nama-nama unik seperti Ketut Abbas, Wayah Hasyim dan Ni Made Fatimah,
menguatkan kesan Bali Islam. Secara fisik, masih banyak juga rumah
dengan tekstur khas Bali. Walau tentu saja tanpa sanggah atau tempat
pemujaan keluarga yang umumnya ada di tiap rumah Bali. Pura, sesaji
dan dupa adalah hal langka yang tak mungkin Anda temukan di sini.
Bambang
Supeno, warga Denpasar yang berprofesi sebagai guide berapa
kali berkunjung ke Pegayaman menuturkan desa tersebut berada di
dataran tinggi. Hingga udaranya sejuk. Saat cuaca mendung selepas
dhuhur jalanan akan diselimuti kabut.
Rata-rata penduduk
memiliki mata pencaharian sebagai pengelola kebun kopi dan cengkeh.
Tak ada warga yang bekerja di sektor wisata karena memang tak
terdapat obyek wisata di kampung ini. Namun bukan berarti tak ada
wisatawan yang berkunjung ke tempat ini. Saat-saat tertentu, ada saja
satu dua rombongan turis lokal menyambangi tempat ini untuk
penelitian atau observasi lapangan.
Tradisi
Unik di Pegayaman
Sebetulnya,
Pegayaman bukan satu-satunya kampung Islam di Bali. Ada Kampung
Kusamba di klungkung, Sindu Keramas di Gianyar, Kepaon di Badung,
Kampung Islam Bugis di Singaraja dan masih banyak lagi. Namun
Pegayaman memiliki beberapa tradisi khas yang menjadi ciri kampung
mereka.
foto dari theperspectiveofantropology.wordpress |
Abdul
Ghaffar Ismail, ketua adat yang biasa disebut Penghulu,
menuturkan, salah satu tradisi khas di Pegayaman adalah perayaan
maulid Nabi Muhammad SAW. Kegiatan ini ditunggu hampir semua warga
karena menyajikan hiburan terbesar sepanjang tahun. Persiapannya
memakan waktu satu hingga dua bulan. Puncak kegiatan ada pada tanggal
11, 12 dan 13 Rabi'ul Awal.
Pada
tanggal 11, masyarakat kampung Pegayaman sibuk membuat tape, kue dan
mempersiapkan sapi yang akan disembelih pada malam menjelang
kelahiran Nabi Muhammad SAW. Semalam suntuk ada hiburan burdah untuk
mengiringi penduduk desa yang bahu-membahu memasak makanan. Paginya,
makanan tersebut di bawa ke masjid dan disantap bersama-sama.
Hari
berikutnya, acara dilanjutkan dengan ramah tamah dengan mengundang
pejabat dari desa lain yang umumnya beragama hindu. Acara yang
bertempat di Balai Desa ini sekaligus upaya menjaga kerukunan antara
umat Islam dan Hindu. Selepas itu masih ada hiburan pencak silat dan
acara arak-arakan. Semua pejabat diringi dengan anak sekolah berpawai
keliling desa sambil membawa sokok yang berupa pohon pisang yang
didirikan di atas dulang. Sokok tersebut dihiasi dengan telur dan
buah-buahan. Acara makin meriah dengan hiburan burqah dan hadrah.
Menjelang acara berakhir, telur dan buah-buahan tersebut akan
dibagikan ke semua pengunjung.
Mirip
dengan pawai dalam upacara adat Bali ya? “Memang mirip. Mungkin
memang dulunya acara ini dibuat untuk menarik perhatian orang-orang
Hindu ke ajaran Islam. Seperti yang dilakukan wali songo di Jawa,”
ujar lulusan Pesantren Al Falah Kediri ini.
Islam
dan Pegayaman
Bagaimana
sejarahnya hingga Islam menjadi agama mayoritas di kampung Pegayaman?
menurut Ghaffar, nenek moyang kampung ini berasal dari Blambangan
(sekarang menjadi kabupaten Banyuwangi). Dahulu kala, saat menghadapi
sebuah pertempuran, Raja Buleleng meminta bantuan ke kerajaan
Blambangan. Dikirimlah sejumlah orang untuk membantu kerajaan
Buleleng. Setelah memenangkan pertempuran, Raja Buleleng
menghadiahkan tanah untuk ‘para sahabat dari Blambangan’ yang
menjadi cikal bakal kampung Pegayaman.
Saat
ini 90% penduduk Pegayaman beragama Islam. Sisanya beragama Hindu dan
nasrani. Namun keharmonisan masyarakat Muslim dan Hindu dipelihara
dengan baik. Mereka biasa berbagi makanan, tentu makanan yang halal
seperti buah-buahan dan kue. “Orang Hindu bekerja di tempat orang
Islam dan sebaliknya sudah biasa di sini,” ucap Ghaffar.
Aktivitas
keseharian di kampung Pegayaman tak ubahnya desa santri. Pagi hari
anak-anak berbusana rapi pergi ke madrasah (sekolah Islam). Sore hari
hingga setelah magrib anak-anak tersebut mengaji di mushola atau
rumah para ustadz. “Sayang tidak ada pesantren di kampung ini.
Padahal di sini banyak terdapat lulusan pesantren,” tambah Ghaffar.
Hampir
tiap hari ada pengajian di kampung Pegayaman. Hal ini bisa dilihat
dari padatnya jadwal Ghaffar mengisi pengajian. Seminggu full.
Ustadz asli kelahiran Pegayaman ini memang menjadi andalan mengisi
berbagai acara di sekitar kampung.
Masjid
Pemersatu masyarakat
Masyarakat
Pegayaman memiliki cara unik untuk menjaga kesatuan warga muslim.
Hanya boleh ada satu masjid di kampung ini yakni Masjid Jami’
Safinatussalam. Masjid ini menjadi pusat kegiatan ibadah warga
seperti sholat jumat, tarawih dan ied.
Jika
ramadhan, kegiatan di masjid ini justru ramai ketika malam hari.
Biasanya tarawih dimulai oleh jamaah perempuan. Menjelang jam 22
ganti bapak-bapak yang shalat tarawih. Setelah itu masih berlanjut
dengan tadarus, memukul bedhuk pertanda sahur, dan shalat subuh
berjamaah.
Aini Firdaus-dimuat di Majalah Ummi edisi September 2010