Pindahan dari blogku di Multiply
Ini adalah Nur. Nama lengkapnya Nurfaina. Aku kenal dengannya 1,5 tahun yang lalu. Waktu itu dia masih menjadi salah satu murid TPAku. Sekarang dia udah gak jadi murid TPA lagi, tapi dah naik tingkat jadi Asisten pengajar TPA.
Suatu ketika, sepulang dari masjid kami berjalan sama-sama. Lalu kutanya, “Nur kamu kelas berapa sih?”. “Saya udah gak sekolah kak”, jawabnya. “Lho, kenapa?” terus terang aku kaget. Kupikir selama ini dia masih sekolah. “Kemarin kan(tahun lalu) saya sudah lulus dari SD tapi nenek bilang tidak ada biaya untuk melanjutkan sekolah”, lanjutnya.
Hari gini, masih ada yang gak bisa masuk SMP karena gak ada duit? Pikirku. Kan dah ada dana BOS. Mulailah aku hunting informasi tentang kehidupan keluarga gadis kecil dengan tubuh kurus ini.
Dan, setelah tanya sana tanya sini, inilah hasil ‘liputanku’: Nur adalah anak pertama dari 2 bersaudara. Ibunya pergi ke Malaysia 8 tahun yang lalu, tapi hingga kini tiada kabar beritanya. Entah masih hidup entah tidak. Ayahnya, pergi kerja di kota lain, dan hanya menengok anak-anaknya sekali dua kali dalam setahun. Dan menurut informasi yangbisa kupercaya, si Ayah sudah punya keluarga lagi (istri dan anak-anak) di kota tempat dia bekerja –tentunya tanpa sepengetahuan Nur dan adiknya- di sini, NUr dan Rizal (adiknya).
Di sini, Nur di asuh oleh nenek dan kakeknya. Menurut neneknya, ibunya si Nur ini berangkat ke Malaysia ketika Nur berusia 4 tahun dan Rizal masih bayi merah. Sampai sekarang tidak pernah ada kabar, apakah si ibu masih hidup atau tidak. Sayangnya juga, sang kakek tidak punya pekerjaan tetap jadi mereka tidak punya penghasilan rutin bulanan. Untuk makan sehari-hari mereka mengandalkan tanaman di halaman belakang rumah dan penjualan besi tua dan plastic –hasil pulungan- si nenek.
Menjelang tahun ajaran baru tahun 2007 lalu, aku mulai gencar melakukan pendekatan ke Nur dan neneknya. Targetku, Nur harus sekolah. Aku akan mengusahakannya dengan segala daya upaya yang aku punya. Mulailah Nur kutanya: “Nur, mau nggak sekolah lagi?”, tanyaku hati-hati. Si Nur yang dasarnya agak pemalu Cuma nunduk dan berkata lirih: “nanti tanya nenek dulu kak”, jawabnya. “Iya, coba bicarakan dengan nenek. Tapi kamu juga harus mulai memikirkan masa depanmu. Kalau kamu sekolah, insya Allah kamu akan mendapat ilmu. Dan dengan ilmu itu kamu bisa merancnag masa depan yang lebih baik. Kalau nenek khawatir dengan biayanya, insya Allah akan kak Aini bantu, “jelasku panjang lebar, berharap Nur punya semangat yang sama denganku untuk melanjutkan sekolah lagi.
Sehari, dua hari hingga tiga hari kutunggu-tunggu jawaban Nur tentang hasil perbincangannya dengan neneknya. Setiap hari kami bertemu di masjid, tapi aku sengaja tidak menanyainya lebih dulu, khawatir dia merasa didesak-desak terus. Tapi pas udah mendekati pendaftaran murid SMP, akhirnya kutanya juga anak kecil itu. “gimana Nur, apa kata nenek soal tawaran kan Aini?” tanyaku. “Entah itu kak, kata nenek nanti kalau biayanya banyak bagaimana?” jawabnya. “Ya udah, ayo kita ke rumahmu. Kak Aini ingin bicara dengan nenekmu”, putusku. Lalu aku bicara dengan nenek Nur. Kusampaikan bahwa sebenarnya saat ini biaya pendidikan untuk anak SD-SMP itu gratis. Kusampaikan juga bahwa sayang sekali anak secerdas Nur (kesimpulan sementaraku setelah melihat hasil raportnya dan testimony dari ustadzah pengajar TPA lain yang udah ngajar si Nur sejak masih kecil)harus putus sekolah. Bla bla bla. Akhirnya, Alhamdulillah si nenek mengizinkan Nur sekolah lagi. Tak terkira bahagia hatiku melihat senyum malu-malu si rambut panjang itu.
Hari-hari setelah itu, kami berburu sekolah. Waktu itu kan aku lagi hamil 5 bulan, Alhamdulillah-nya si jabang bayi sofie gak rewel. Ternyata, gak mudah juga cari sekolah. Syaratnya juga lumayan ketat. Fotonya tidak boleh foto SD (dengan alasan ada dasi SD-nya), jadi siang-siang di tengah terik siang bolong, kami berdua pergi ke tukang foto. Karena esoknya hari terakhir pengembalian formulir. Ada tes agamanya juga, tentang pengetahuan keislaman dan kemampuan membaca Alqur’an. Aku sudah seperti ibu-ibu yang punya anak mau masuk SMPJ Alhadulillah, Nur dapat melalui tes-tes itu dengan lancar, dan pas pengumuman, dia diterima di dua-duanya. Sebenarnya sih target kami di SMP 9 tapi sengaja kudaftarkan juga di SMP 6 sebagai cadangan bilamana Nur gak lolos di SMP 9.
Seminggu sebelum masuk sekolah, kami belanja baju seragam, sepatu, tas, buku tulis. Aku seperti ingat masa-masa SD dulu. Dan ketika Nur mulai masuk sekolah, aku berdo’a dari rumah: “Ya Allah, jadikan Nur sebagai anak yang bermanfaat. Mudahkan dia dalam menerima ilmu. Jaga dia dan berikan kemudahan-kemudahan dalam menuntut ilmu”. Aku gak tau masih akan berapa lama di bumi Sulawesi ini. Aku juga tidak tau, apakah aku (kami –lebih tepatnya- aku dan suamiku) bisa membiayai Nur untuk melanjutkan sekolah setelah dia lulus SMP nanti. Namun, tak ada salahnya bermimpi bahwa suatu saat nanti, Nur akan dapat melanjutkan pendidikannya hingga jadi orang yang berhasil. Dan ketika Nur sudah beranjak dewasa dan memiliki kemandirian dari sisi financial, dia akan tergerak untuk membiayai pendidikan satu orang lagi, entah itu adiknya, saudaranya, tetangganya atau siapapun. Sehingga akan terus ada gerakan yang sama. Bahwa setiap orang bertanggungjawab akan pendidikan seseroang yang lain. dan semoga suatu saat nanti, tidak akan ada lagi seorang anak kecil yang bermimpi memakai baju seragam dan ikut upacara, karena semua anak sudah dapat mengenyam pendidikan. Untuk ilmu yang bermanfaat. Amiin.